Bab 16. Sidang

194 23 5
                                    

Berat bagi Salman menyudahi ungkap rindunya pada si Sulung.

"Ya Allah, ini lucu banget Mas."

Laura sedari tadi mengagumi foto USG milik cucu Salman.

"Belum keliatan jelas mukanya," ucap Salman.

Dua orang itu keluar dari mobil dengan wajah sumringah. Mereka tidak tahu jika sudah ada orang menunggu di dalam rumah yang dua hari lalu terkena serangan terror tersebut.

"Besok kalau lahir mirip siapa ya?"

"Ya mirip aku-lah. Keturunanku kok." Salman terkekeh bangga.

Obrolan itu mengundang kecurigaan dua orang yang berada di dalam rumah.

"Ih, tapi kalau masih diperut kan nggak tahu mirip siapa!" Laura mengatakannya cukup keras sembari melangkah masuk ke dalam rumahnya yang tidak tertutup itu.

Pasti Nathan ada di rumah, pikirnya.

"Ya, kita tunggu aja beberapa bulan lagi."

Alma menyenggol Nathan. "Beneran kita mau punya adik?" bisiknya.

Nathan berdiri dan menyambut ibunya.

"Wuih, foto apaan nih?"

Laura terkejut saat sang putra tiba-tiba menghadang jalannya dan merebut foto USG di tangannya.

"Nat, weekend nggak jalan-jalan?" sapa Salman.

"Jomblo bisa apa sih, Om. Eh Ayah? Eh apa ya manggilnya?" Nathan menyindir halus.

Laura mencubit pipi sang putra. "Kamu ini apaan sih. Biasanya panggil Om ya Om aja."

Alma sudah tidak tahan bersembunyi di balik penyekat ruangan. Ia muncul tak sesuai arahan Nathan.

"Ayah! Tante! Kami mau bicara!"

Salman terkejut sang putri ternyata ada di sana.

"Alma? Kamu ngapain di sini?"

"Aku yang harusnya tanya ke Ayah. Kenapa ayah nggak jujur ke aku soal Tante Laura! Tante juga kenapa nggak jujur ke Pak Donat!"

Nathan menatap ke foto di tangannya. "Sumpah ini USG bayi? Serius? Ini beneran keturunan Om Salman?" tanya Nathan.

Alma berlari mendekat dan merebut foto itu. "Ayah! Ini, ini darah daging ayah?" tanya Alma.

Salman mengangguk. "Iya. Darah daging ayah. Kami juga nggak nyangka. Kami tadi ke rumah sakit, awalnya cuma mau kenalan sama anggota tim baru tapi ternyata Allah memberi tahu anugrah ini dengan begitu indahnya tak terduga."

Alma benar-benar tak tahan mendengar ucapan sang ayah.

"Yah! Anugrah? Ayah yakin ini anugrah? Ayah yakin anak ini anak halal?"

"Astagfirullah, ya halal, Nak. Naura kok gitu ngomongnya. Harusnya kamu seneng," sela Laura.

"Tante diem dulu, ini urusanku sama ayah. Yah, apa ayah yakin hubungan itu sudah sah dan halal?"

Salman terlihat santai. "Ya halal selama ada wali, penghulu, saksi, dan mempelainya. Karena memang orangtuanya dianggap mati ya sudah ketidaktahuan itu membuat hukumnya menjadi sah. Tidak perlu syarat lain lagi."

"Tapi pernikahan itu nggak bisa disembunyikan gitu aja. Keluarga perlu tahu juga! Biar nggak salah persepsi. Harus nikah secara resmi. Di negara dan agama sah tercatat sebagai suami istri! Begitu aturannya!"

Salman mengembus napas. "Sudah, sudah. Ayah capek. Tante juga capek. Ngapain sih kamu sengotot itu bahas adek bayi ini? Lagian dari mana kamu tahu? Ayah kan belum cerita."

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang