Bab 63. Sakit

246 20 15
                                    


Salman keluar masuk ruangannya sembari melirik sosok yang terlihat tertunduk di ruang depan. Sekali, dua kali, tiga kali, ia keluar masuk dan akhirnya tidak tahan untuk tidak menyapa pemuda itu.

"Dam."

Tidak ada jawaban.

"Iqdam!"

Si pemuda yang tengah tak sehat itu segera bangkit dari tempat duduknya. "Siap, Ndan!"

"Kenapa?"

Wajah pemuda itu terlihat pucat. "Siap, Ndan. Tidak apa-apa."

Salman mendekati pemuda itu dan meninju perutnya beberapa kali seperti ketika ia tengah memberikan candaan hukuman fisik pada anak buahnya.

Iqdam menahan perutnya seperti biasa agar tak sakit. Namun, kondisinya sedang tidak baik. Ia pun ambruk padahal tidak keras Salman meninjunya.

Pemuda itu mengerang tertahan sembari memegang perutnya.

"Dam! Hei! Kenapa?"

"Bekas luka saya, Ndan," rintih Iqdam.

Salman baru ingat jika pemuda itu baru sembuh dari koma dan luka tusuknya cukup dalam hingga perlu penanganan khusus dua bulan lalu.

Iqdam segera ia bawa ke klinik pratama bhayangkara dokpol di sebelah utara komplek kantornya. Pria itu jelas langsung bertanggung jawab atas aksinya. Rasa bersalah menggunung membebaninya.

"Dam, maaf."

Ucapan itu benar-benar terdengar penuh sesal.

"Tidak apa-apa, Ndan. Saya yang terlalu lemah. Saya tumbang karena semalam tidak bisa tidur."

Salman mengajak Iqdam ke kantin dulu sebelum pulang pasca ditangani, diobati luka dan diberi obat.

"Tidak bisa tidur? Karena sakit lukamu?"

Iqdam menggeleng. "Bukan, Ndan. Saya  kemarin ditanya sama ayahnya Bang Egi. Kenapa masih melajang. Saya bilang saya takut perempuan. Saya selalu grogi dan tidak percaya diri. Apalagi sekarang cewek-cewek antipati dengan seragam saya. Katanya halo dek, halo dek. Saya hanya dekat dengan satu perempuan. Terus ayah Bang Egi bilang, berarti satu perempuan itu spesial buat saya karena membuat saya nyaman tanpa saya sadari. Dan, itu membuat saya berpikir semalaman. Saya yang awalnya nyaman, malah kalau membayangkan perempuan itu dada saya sakit. Kayak cenut-cenut gitu. Bibir saya gerak sendiri, kayak mau senyum sendiri. Saya akhirnya semalaman iktikaf, sembari khataman. Takut saya kalau ternyata saya ketempelan apa gitu. Meruqyah diri sendiri."

Salman mendengar cerita sang bawahan sembari menyeruput es tehnya.

"Itu tandanya kamu sadar kalau kamu suka sama dia," komentarnya kemudian.

"Ayah!"

Suara seorang wanita terdengar. Iqdam tiba-tiba bersembunyi di balik punggung Salman.

"Kamu kenapa?" tanya Salman.

"Itu orangnya, Ndan. Saya jadi takut mau ketemu. Dada saya aneh rasanya."

Salman mengerjapkan mata berkali-kali sebelum paham apa maksudnya.

"Jadi cewek yang kamu maksud tadi Alma? Kamu suka sama anak saya?"

Iqdam pun baru sadar, ia curhat pada orang yang salah.

"A-anu, si-siap salah, Ndan!" Iqdam akhirnya mengambil posisi push up.

Alma yang baru datang bersama Jeno pun heran melihat tingkah Iqdam.

"Heh, jangan push up. Kamu masih sakit!" bentak Salman.

Iqdam pun berhenti.

"Al, kenapa kamu yang ke sini?" tanya Salman pada sang putri.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang