Bab 45. My Angels

177 20 3
                                        

Dua wanita yang sama cantiknya kini berada di kanan dan kiri Salman. Wajah mereka bertiga serupa. Senyum tak lepas dari bibir mereka bahkan sejak pergi dari pesantren milik orangtua Nuansa hingga kembali ke rumah.

"Sayang, kamu tidur di luar sama anak buah ayah ya."

Maura mengintruksikan pada sang suami.

"Iya, iya. Udah sama bobok sama ayah sama adek."

Alma mengamati manisnya hubungan antara sang kakak dan iparnya. Tidak mungkin kan teori Queen tadi sore terjadi? Jendra terlihat sangat mencintai Maura. Bukan karena embel-embel kasihan semata.

"Duh, hari ini satu pasangan. Besok dua pasangan. Ngungsi di mana aku ya?" celetuk Alma.

Salman dan dua kakak Alma mendadak menatapnya.

"Maksudnya?" Salman bertanya.

"Ya hari ini baru kakak sama mas yang uwu, besok bakal ada Mas Aman sama dedek Ura yang uwu. Dah lah ... Mengenaskannya aku. Mending aku sama Koko aja." Alma sejatinya hanya bercanda tetapi Jendra menanggapinya berbeda.

"Eh, nggak gitu juga dong, Dek. Ngapain sama dia? Kamu sama kami aja. Berempat. Nih sama keponakanmu. Dia seneng banget kan sama kamu. Selalu lincah kalau udah ngobrol sama tantenya. Nggak usah melibatkan orang lain."

Satu tangan Jendra terulur menepuk puncak kepala Alma yang kini tertutup jilbab. Maura mengamatinya. Ada rasa lain yang muncul. Mengapa ia cemburu melihat suaminya menyentuh sang adik.

"Ish ish! Jangan sentuh-sentuh anak gadisku! Nggak boleh! Tanganmu kotor. Udah nggak steril lagi. Jangan bikin gadisku ini ternoda!" Maura mengempaskan tangan sang suami dari kepala adiknya.

Alma menjadi tak enak hati.

"Eh? Cemburu?" Jendra menggoda istrinya.

"Iya! Adek ini adekku! Nggak boleh disentuh orang lain! Udah sana pergi. Aku takut adek nanti kamu ambil. Kan dari dulu kamu selalu ngerengek pengen punya adek, nggak mau jadi anak bungsu. Jadi, aku takut adekku kamu sandera."

Beruntung, Maura yang selalu bertingkah seperti anak kecil mampu menutupi kecemburuannya.

Salman dan yang lain pun tertawa.

"Jen, di kamar itu ada selimut dan keperluan untuk tidur lengkap. Pakai saja. Iqdam mungkin nanti selesai patroli juga ke sini."

Jendra mengangguk. "Nggih, Yah."
Pria itu mengecup kening sang istri sebelum keluar dari rumah induk ke kamar tambahan di dekat garasi.

Sementara itu, Alma segera menghilang ke kamarnya, menyiapkan tempat, sementara Maura masih bergelendot manja pada sang ayah.

"Yah, ayah nggak berniat menjodohkan adek sama bawahan ayah?"

Salman mengangkat satu alisnya. "Menjodohkan Alma? Kamu ini loh, ada-ada saja. Adikmu masih kecil. Kuliahnya pun belum selesai."

"Aku juga sudah menikah waktu seumuran Alma. Nggak ada yang salah kok dan bisa lulus kuliah juga walau dibantu Jendra mati-matian." Maura meringis.

Salman gemas pada si sulung. Ia mengecup pipi putrinya itu berulang kali.

"Biar dia belajar mandiri dulu. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Dia juga tidak selembut dan keibuan sepertimu. Dia terlalu tomboy dan tidak ada manis-manisnya. Ayah takut kalau menjodohkannya dengan anak-anak di lingkungan kerja ayah, mereka hanya akan terpaksa menerima Alma karena takut dan segan pada ayah, bukan karena memang keinginan hati mereka mempersunting Alma."

Maura mengangguk-angguk. "Atau ... Mungkin ayah bisa menikahkan adek sama Jendra. Nanti kalau aku sudah nggak ada."

Kalimat panjang sang putri membuat Salman mendadak bungkam.

SelaksasmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang