Bab 19. Muak

171 5 0
                                    

Malam harinya, tepatnya pukul sembilan lebih lima belas, Devin terlihat keluar dari kamarnya lantas menuruni tangga dan hendak ke dapur.

Awalnya Devin kira, dia akan kembali sendirian, mengingat saat melewati kamar Devan, dia tak mendengar apa pun. Semuanya senyap dan kamarnya pun terlihat gelap. Devin kira, pasti keduanya tengah berpergian ke luar rumah, atau mungkin saja telah terlelap. Namun, sesampainya lelaki itu di dapur, dia kembali diam seribu bahasa. Di mana saat itu matanya melihat Linda tengah meneguk segelas air dengan posisi memunggunginya sebab menghadap ke arah kulkas yang tertutup.

Devin tak bergerak dari posisinya, dia tetap diam seraya menatap tajam ke arah Linda.

Dan menyadari ada yang tengah memperhatikannya, Linda pun lantas berbalik. Dia terkejut mendapati adanya Devin di sana. Dia tak terlihat rapi, dan sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan, dan yang lebih parahnya lagi dia hanya menggunakan baju tidur pendek tanpa lengan dengan bagian dada yang nyaris terlihat.

Sontak Linda pun menaruh gelas yang dipegangnya ke meja lalu menutupi belahan dadanya dengan kedua tangan.

"De ... Devin kamu ngapain di sini?" Linda pun bertanya dengan sorotnya yang begitu gugup.

"Ngambil minum, haus." Kali ini Devin terlihat begitu dingin pada Linda. Dia terlihat cuek lalu melewati Linda begitu saja. Bahkan, selepas mengambil sebotol air dari dalam kulkas, Devin langsung kembali ke kamarnya.

Melihat perubahan sikap Devin, Linda hanya terdiam seraya menatap punggung Devin yang kian menjauh.

........................................

Saat pukul dua dini hari, Devin pun terbangun dari tidurnya. Dia merasa perutnya begitu melilit hingga membuatnya bergegas keluar dari kamarnya lalu berlari menuju bilik mandi di lantai satu.

Begitu lamanya di dalam ruang kotor itu, akhirnya selesailah dia dibarengi kelegaan di perutnya. Dia keluar beberapa saat kemudian lalu menaiki tangga tanpa suara. Sesaat sampai di depan kamar Devan, lagi-lagi dia dibuat penasaran oleh percakapan Devan dan juga Linda.

Mereka mengatakannya tak begitu keras, tetapi masih terdengar jelas di telinga Devin. Sebenarnya dia tak ingin menghiraukannya, akan tetapi melihat mereka mengatakannya begitu serius, membuat Devin tak bisa untuk tak mendengarnya.

"Apa dia sudah curiga, ya, dengan kita? Tadi aja saat bertemu denganku di dapur, dia begitu dingin dan cuek padaku. Apa mungkin dia sudah tau semuanya?"

"Aku begitu cemas sekarang," lanjut Linda.

"Tenang, anak itu nggak akan tau kok. Lagi pula sikapnya dari dulu memang begitu 'kan pada kita? Jadi kamu tenang aja, oke? Lakukan saja sesuai perjanjian kita kemarin, dan jangan panik," sahut Devan.

Setelah itu tak ada percakapan kembali yang terdengar.

Namun, mendengar itu, Devin pun makin muak, dia sudah tak tahan lagi untuk tetap berada di rumah itu. Dia pun segera pergi ke kamarnya, lalu mengemasi pakaiannya.

Devin tak membawa banyak, hanya dua-tiga potong baju dan beberapa celana. Dia ingin pergi saat ini juga. Dia sudah tak peduli lagi pada Devan ataupun Linda. Rasa pedulinya pada mereka sirna saat mereka dengan sadar merencanakan pembunuhannya.

Dia marah sampai tak bisa berkata apa-apa. Lantas selepas siap dengan barang yang dibawanya, Devin pun keluar dari kamarnya dan menuruni tangga dengan sebelah tangannya membawa satu buah tas hitam berukuran sedang.

Awalnya saat keluar dari kamarnya, Devin diam sebentar lalu mengamati sekitar. Dia melihat kamar milik Devan telah terang kembali. Namun, apa pedulinya sekarang? Dia langsung turun begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun.

Devin keluar lewat pintu belakang, lalu menuntun motornya sampai kurang lebih 300 meter dari rumah Linda. Dia tak ingin jika suara bising motornya sampai membuat kedua orang jahat itu terbangun dan mendapatinya yang berniat pergi.

Tak punya tujuan, tak punya kerabat, ataupun kenalan. Itulah yang Devin alami saat ini. Dia bimbang, dan bingung harus pergi ke mana di pagi buta seperti ini. Namun, sejenak Devin pun teringat sesuatu. Ya, akhirnya dia pun melajukan motornya ke tempat di mana dia merasa tenang dan dipedulikan. Tempat di mana dia bertemu dengan Bunga. Hanya tempat itulah yang terpikir di otaknya saat ini.

Namun, sesampainya Devin di sana, dia tak menjumpai sosok Bunga. Suasananya terlihat sepi, dibaluti cahaya remang-remang dari sorot bulan yang tak begitu nampak. Pikirnya mungkin saja Bunga kembali ke rumahnya. Mana ada bukan seorang gadis berkeliaran di hutan malam-malam begini? Namun, tak lama setelah itu, tengkuknya dibuat merinding oleh suara seorang perempuan yang begitu halus, diiringi angin malam yang begitu dingin. Dia tak lantas menoleh melainkan tetap diam di tempatnya sembari mendengarkan sosok itu berbicara.

"Ada apa kamu pagi pagi buta ke sini?"

Setelah itu, terlihatlah seorang perempuan yang sama dengan perempuan yang ditemuinya kemarin, Bunga. Dialah gadis itu, dia berjalan dari belakang tubuh Devin lalu berdiri tepat di hadapannya.

"Aku pergi dari rumah." Hanya itu yang Devin ucapkan lantas, diam kembali.

"Kamu sadar 'kan sekarang, kalau nggak ada seorang pun yang peduli denganmu di dunia ini?" Ucap Bunga tanpa ekspresi.

"Aku rasa kini kamu pun sudah tau semua masalahku. Jadi, tak perlulah aku ulang kembali, tapi intinya, sekarang aku nggak mau lagi balik ke rumah itu. Apa pun alasannya, aku nggak mau. Biarin ajalah aku tinggal di sini, karena di sini jauh lebih tenang dan nggak akan buat emosi."

"Tapi kamu nggak boleh tinggal di sini,Vin!" ucap Bunga kemudian.

Alis Devin pun mengernyit.

"Loh, kenapa?"

"Karena cepat atau lambat Devan pasti akan bisa nemuin tempat ini. Vin, sekarang kamu ikut aku, ya? Akan kubawa kamu ke suatu tempat." jawab Bunga.

Bersambung....

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang