Bab. 31 POV ALVON-Kecewa

97 2 0
                                    

Sudah sejak dua hari yang lalu aku tidur dan hidup di dalam rumah kontrakan kecil ini. Sebenarnya aku ingin kembali ke rumahku di Malang tapi, pikiranku cukup lelah untukku berjalan pulang kembali. Alhasil kusewa rumah kontrakan ini dan ku tinggali selama beberapa hari sampai ku pulang kembali ke Malang. Sebenarnya aku ada sanak saudara di sini, tapi aku tak terlalu dekat dengan mereka, itulah sebabnya aku lebih memilih untuk mengontrak daripada menginap di rumah salah satu dari mereka.

Berulang kali ku Hela nafasku kuat-kuat, mengistirahatkan tubuh serta otakku dari semua masalah yang dihadapkan padaku hari ini.

Rasanya begitu sesak dan sakit. Melihat ibu yang sangat kita cintai berbuat demikian hal pada kita. Tiga hari yang lalu aku masih melihatnya seperti biasa, namun keesokan harinya aku merasa seperti ditimpakan puluhan ribu ton beton diatas tubuhku. Kaget, marah, sedih semuanya bercampur menjadi satu.

Seorang yang kuat bahkan saat kakek yang sangat ku sayangi saja meninggal tak sedikitpun ku teteskan air mataku ini, tapi kemarin ... Bahkan suaraku saja sampai serak, air mataku sampai kering menangisi mereka berdua.

Ku kira akan ada sebuah penjelasan atau pembelaan yang mereka lakukan, tapi kenyataannya mereka justru diam. Ibuku terlihat menangis sambil di peluk Devan dan tak sedikitpun menatap kearahku.

Jika saja dia bukan ibuku sudah kuhajar habis-habisan, dan ku arak tubuhnya keliling kampung. Aku memang sekejam itu pada orang yang ketahuan berzina, lebih-lebih lagi dia keluargaku sendiri bahkan ibuku, Jika dia bukan ibu kandungku, rasa-rasanya Aku tak akan sesakit ini, tapi dia ibu kandungku, orang yang sudah melahirkanku dan membesarkanku hingga aku menjadi seperti sekarang.

Aku tak tahu apa yang terjadi di antara ayah dan juga ibu selama ini. Karena setelah lulus SMA aku memutuskan untuk kuliah di Malang. Bukan tanpa alasan aku memilih kuliah di sana, karena jurusan yang ku ambil ini hanya ada di sana. Dan setelah lulus aku mulai bekerja dan merintis usahaku di Malang juga. Senang? Tentu saja, karena ternyata usahaku itu tidaklah sia-sia. Usahaku lama-kelamaan maju dan mulai berkembang. Bahkan uang yang kukumpulkan saja sudah terkumpul banyak. Tapi melihat semua kesuksesanku ini, aku masih ada rasa bersalah pada kedua orang tuaku, karena waktu aku pergi dulu, mereka sama sekali tak senang. Mereka memang mengizinkanku pergi tapi mereka tetap berat untuk melepaskanku. Bahkan aku jarang sekali menghubungi mereka karena aku merasa tak enak pada mereka.

Lalu suatu saat aku mencoba menghubungi ayahku, kita mengobrol seperti biasa, membahas tentang banyak hal, mulai dari kuliahku, kehidupanku setiap harinya, kerjaan ayah, bahkan hal-hal yang dirasa kurang penting semua sudah kami bicarakan. Tapi saat aku akan menutup telepon itu, ayah berpesan, "Jangan pernah kau hubungi ibumu lagi." Setelahnya ayah menutup teleponnya bahkan sebelum aku sempat bertanya apa maksud dari perkataannya itu.

................................

Dan aku masih ingat sekali, waktu itu hari Rabu dan aku pulang kuliah pukul 16.00 sore. Saat itu aku baru pulang dari kelas dan mampir sebentar di cafe untuk sekedar melepas penat dan ngopi-ngopi sebentar dengan temanku. Canda tawa kami mengisi kekosongan di cafe itu, lalu di tengah obrolan kami terdengar teleponku berdering.

Kring ....

Kuraih handphoneku, dan ternyata ibuku lah yang menelpon. Aku saat itu tak ada perasaan curiga atau apapun, dan kuangkat lah teleponnya itu. Dia membicarakan banyak hal di telepon itu sampai aku tak ada waktu untuk sekedar menjawab pertanyaan dari temanku yang bertanya padaku.

Aku hanya mendengarkan dan menjawab sekenanya pertanyaannya itu. Lalu tanpa sengaja terdengar di telingaku panggilan sayang yang entah ditujukan pada siapa dari telepon ibuku tersebut. Suaranya aku seperti mengenalnya. Mirip seperti suara Devin atau Devan, namun aku tak tahu jelas karena suaranya hanya serak-serak dan seperti dari kejauhan. Lantas setelah tragedi panggilan sayang tersebut, terdengar olehku ada sebuah barang jatuh dari telepon ibuku yang masih tersambung itu. Aku sedikit mengernyit lalu bertanya pada ibuku, apa dia baik-baik saja? Tapi dia justru berkata akan menelponku lagi setelah ini. Dan ya teleponnya mati bahkan sebelum aku sempat bertanya siapa orang yang memanggil sayang tersebut. Karena setahuku ayah tak pernah memanggil ibu dengan sebutan itu, ayah tak terlalu suka akan panggilan yang menurutnya sedikit lebay tersebut.

Dan tanpa memusingkan hal itu aku pun kembali melanjutkan kegiatanku bersama teman-temanku. Kita ngopi bareng sampai tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 19.00 malam dan kita pun sama-sama pulang dan berjanji akan bertemu lagi esok hari.

Bersambung ...

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang