Bab. 23 (Linda POV)

171 5 0
                                    

      Hari ini, suasana rumah sangat sepi .... walaupun biasa nya memang sepi, ditambah dengan kepergian keponakanku kemarin hari. Ya, Devin pergi dari rumah ini. Aku tak tau ia akan kembali atau tidak, tapi apa peduliku. Aku justru merasa senang melihatnya pergi seperti ini. Aku tak tau kapan ia pergi, dan kemana ia pergi. Ia tak ada kerabat lain selain keluargaku. Tapi tak tau juga. Mungkin, ia pergi ke rumah salah satu temannya, aku tak begitu yakin. Tapi satu hal yang membuatku heran adalah mengapa Devin sama sekali tak mencurigaiku. Kenapa ia percaya sekali padaku. Apakah aku memang sebaik itu di matanya??

     Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkannya, toh dia sudah pergi kan. Harusnya aku merayakan itu, dan bukan memikirkannya seperti ini.

     Aku pun memutar badanku, menghadap kearah Devan semula berada, tapi kini kosong. Tak ada Devan di sana. Selimutnya telah tersingkap, dan pakaian Devan yang semula tergeletak di lantai pun telah tak ada di sana. Aku berpikir sekali lagi, apakah Devan telah kembali ke sekolah? Apakah dia sudah siap dengan hal itu? Atau kemanakah dia pergi?

    Baru saja kukenakan pakaianku kembali, tiba tiba pintu kamar terbuka, dan menampilkan sesosok lelaki tampan di sana. Ia adalah Devan, dia datang sembari memegang sebuah nampan berisi sepiring makanan dan segelas air putih.

   Dia tersenyum saat melihatku tersenyum padanya. Kemudian berjalan kearahku, dan duduk di sebelahku.

  "Udah bangun ya, nih aku bawain kamu makanan, dimakan dulu ya, kamu pasti laper?"

   Aku pun tersenyum sambil menikmati makanan yang Devan bawakan padaku. Ia terus saja membicarakan banyak hal sembari menyuapi ku makanan itu.

    Ia terus saja berbicara sampai pembicaraannya mengarah pada Devin.

    "Kira-kira kamu tau nggak, Devin perginya kemana?" Ia bertanya dengan serius.

Aku pun menghela nafas kasar mendengarnya. Tapi setelahnya aku pun tersenyum.

    "Dia udah pergi sayang, kenapa sih kamu masih nyariin dia. Kamu gak rela dia pergi, atau kamu mau nyari tau dia ada di mana?"

    "Aku memang mau nyariin dia, tapi bukan karena aku gak rela dia pergi. Tapi aku hanya gak rela dia pergi begitu saja tanpa merasakan rasa sakit sedikitpun."

    "Emang kamu mau apaan dia sih, mau kamu bunuh, kamu gak takut kena karmanya, dia adik kamu loh?"

    Ucapku mengingatkan.

   "Kenapa kamu jadi belain dia, kamu sayang ya sama dia?"

   "Enggak, justru aku tuh mau ngingetin kamu, supaya kamu jangan terlalu jauh. Aku nggak mau kamu kenapa Napa, cukup buat dia pergi dari rumah ini, tapi jangan buat dia mati."

   "Aku nggak mau kamu celaka suatu hari karena udah bunuh adik kamu." lanjutku.

   Devan justru tersenyum lebar mendengar itu.

"Emang karma berlaku buat seorang Devan. Enggak sayang. Kamu tidak usah khawatir. Aku pasti bisa lenyapin dia sesegera mungkin. Dan bawa dia kehadapan kamu."

    "Kamu benci kan sama dia, dia kan yang sudah bunuh anak kedua kamu?"

   Setelahnya ia pun terdiam.

   "Apa ucapanku benar?"

Darahku pun mendidih mendengar semua ucapan Devan itu. Ia kembali mengingatkanku pada dendam yang telah bernaung di hatiku selama kurang lebih dua tahun itu.

    "Kamu benar. Aku harusnya membiarkanmu membunuh Devin, dan membuatnya menyesal telah hidup di dunia ini. Maaf ya sayang, harusnya aku nggak ngomong gitu ke kamu."

    "Nggak papa sayang, tenang aja."


   Bersambung ...

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang