Bab 24. Cerita Bunga

174 5 0
                                    

Seperti sudah tidur Berjam jam, akhirnya Devin pun terbangun. Ia mengucek kedua matanya lalu melihat kesekitar. Ia tertegun di tempatnya berada. Ia teringat jika kini ia tengah berada di rumah Bunga, gadis misterius yang telah resmi menjadi kekasihnya itu.

Ia menghela nafas panjang lantas beranjak dari ranjang tempatnya terbaring. Ia ingin mencari keberadaan Bunga, sebab setelah ia terbangun, ia tak lagi melihat gadis itu. Ia pergi sesaat Devin masih tak sadarkan diri. Tapi saat akan menuruni tangga, Devin terdiam menatap kearah sebuah lukisan usang yang terpajang rapi di hadapannya. Lukisan yang menampilkan sebuah keluarga yang tengah tersenyum.

Devin mengamati mereka satu persatu, ia melihat jika laki laki dewasa di lukisan itu mirip dengan seorang Belanda jaman dulu. Mulai dari pakaian, rambut serta wajahnya pun begitu mirip, lantas perempuan di sebelahnya adalah perempuan pribumi. Ia mengenakan kebaya merah dengan selendang hijau di bahunya. Rambutnya di sanggul dan wajahnya sangat cantik. Lantas pandangan Devin pun sampai pada dua orang anak yang ada di lukisan itu.

Si anak laki laki yang mungkin kisaran umur lima tahunan tampak begitu manis dengan kemejanya. Ia berdiri sambil tersenyum menggandeng tangan sang ayah. Sementara si anak perempuan, ia berdiri diam di tengah tengah mereka, ia berambut hitam lurus dengan memakai gaun berwarna pink terang. Gadis itu sangat cantik, ia adalah perpaduan antara Belanda dan Indonesia. Wajahnya yang ayu namun menenangkan langsung mengingatkan Devin pada seseorang.

Bunga, gadis itu begitu mirip dengan anak yang ada di lukisan ini, hanya saja si anak perempuan dalam lukisan ini umurnya lima tahun di bawah Bunga. Tapi wajahnya yang cantik namun sangat khas langsung mengingatkan Devin padanya.

Tapi setelah itu Devin pun tersenyum, ia ingat jika Sekarang ia telah berada di rumah Bunga, mungkin lukisan ini memang lukisan keluarganya. Itulah mengapa mereka begitu mirip, lalu Devin pun beranjak dari sana. Ia kembali menuruni tangga, dan sampai pada pintu utama. Ia buka perlahan pintu itu, dan dari kejauhan ia melihat ada Bunga tengah duduk di atas ayunan sendirian.

Melihat itu Devin pun turut menghampirinya. Ia tersenyum lalu berdiri di sebelah ayunan itu.

"Kok main ayunan nggak ajak-ajak aku?" ucap Devin sesaat melihat Bunga tak menyadari kedatangannya dan terus memainkan ayunan itu.

"Oh, kamu Vin. Tadi kamu belum sadarkan diri, dan karena aku suntuk makanya aku kesini." jawab Bunga tanpa menoleh dan terus memainkan ayunannya.

"Oh, yaudah sini aku dorong ayunannya."

Setelah itu Devin pun berdiri di belakang ayunan Bunga yang telah berhenti lalu mendorongnya perlahan. Bunga nampak tertawa kecil sambil menoleh kearah Devin.

"Bunga, tadi saat aku keluar kamar, aku lihat ada lukisan keluarga kamu di tembok depan kamarku. Kamu cantik ya, apalagi ayah kamu Belanda." ucap Devin sambil terus mendorong perlahan ayunan Bunga.

Tapi mendengar itu raut Bunga pun berubah. Wajahnya berubah sendu dan berkaca-kaca. Ia pun tertunduk tanpa mengatakan apapun.

"Oh iya, tadi yang anak kecil laki laki rambutnya blonde itu adik kamu ya, dia kemana, kok dari kemarin aku nggak lihat dia, apa dia lagi nginep di rumah neneknya?"

Pertanyaan Devin berhasil membuat wajah Bunga yang semula tertunduk langsung tegak kembali. Ia menghentikan dorongan ayunan Devin lalu menarik tangannya agar berdiri di hadapannya.

"Semua keluargaku tak ada yang tersisa termasuk aku. Semuanya mati di tangan kalian para pribumi. Bahkan dengan kejam kalian menembaki adikku layaknya kalian menembaki musuh. Tak ada satupun yang mau menolong kami bahkan kamipun sudah bersimpuh dan menangis agar kami di bebaskan, tapi kalian kejam. Kalian tak mau mendengarkan kami. Kalian malah mendorong kasar ayahku yang telah terluka dan hampir mati dengan senapan kalian. Aku tak bisa apa apa selain terus menangis di kaki kalian. Memohon agar kalian berbelas kasihan pada kami. Saat itu, ayahku telah menghembuskan nafas terakhirnya, dan disusul ibuku setelahnya. Ia meninggal setelah di lecehkan oleh kalian dan di cekek begitu saja. Pertahanku rubuh. Aku seolah mati rasa di sana. Kini tinggallah aku dan adikku saja, ia terus saja menangis dan membuat kalian para tentara marah, lalu tanpa kasihan, kalian langsung menyeret adikku kemudian menembaki kepalanya beberapa kali sampai ia tak bernyawa. Aku sudah ingin menyelematkannya, agar aku saja yang meninggal. Tapi salah satu dari kalian mencekal kuat lenganku hingga aku sama sekali tak bisa bergerak lalu akupun hanya bisa menangis melihat kematian seluruh keluargaku. Adikku yang begitu lucu dan manis telah tiada di hadapan ku. Mati dengan begitu tragis. Sebenarnya apa kesalahan kami sampai kalian berbuat Demikian pada kami. Apa karena ayahku seorang Belanda sehingga kalian akan menghakimi kami seperti ini. Tapi ayahku bukan orang yang jahat, dia bukanlah penjajah, dia hanya pengusaha biasa yang ingin berdagang di Indonesia ini. Tapi, kini akupun sudah tak lagi bisa melihatnya ataupun mendengar suaranya. Dia telah mati dengan begitu tragisnya. Bahkan tanpa ampun kalianpun turut menjamah ku, memperkosaku, lalu menembakiku dengan senapan kalian hingga berulang kali sampai akupun tak lagi mendengar detak jantungku. Aku telah mati."

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang