Bab 20. Tinggal di sini

141 4 0
                                    

Lelaki itu bernafas dalam-dalam. Berulang kali dilihatnya gadis cantik nan pucat itu berjalan di depannya tanpa bicara atau pun menoleh. Pandangannya lurus kedepan, dan sorot matanya pun begitu dingin.

Devin tak mengajaknya bicara seperti biasa, karena entah kenapa dia seperti merasa ada sesuatu lain di diri Bunga yang membuat Devin segan tuk terlalu dekat dengannya.

Namun, Devin tak menghiraukannya. Ia pun menyamakan langkahnya dengan Bunga lalu menoleh kearahnya.

Wajahnya begitu cantik walau terlihat pucat tak sedikit pun mengurangi kecantikan sosok Bunga.

Perjalanan serasa semakin jauh. Mulai dari memasuki hutan, sampai menyebrangi sungai sudah mereka lewati. Devin sejenak tertegun menyaksikan pohon-pohon tinggi di kanan kirinya. Mereka terlihat gagah walau nampaknya telah berumur ratusan tahun. Semua tetumbuhan tampak begitu indah di mata Devin. Sudah lama ia tak menyaksikan suasana sedamai ini.

Hatinya tersentuh sayup-sayup suara daun tertiup angin, kicau burung bersuara merdu, serta derap langkah kaki keduanya berhasil memecah keheningan pagi itu.

Bunga masih saja diam sampai detik ini. Bahkan, ekspresinya pun tak berubah. Ia terus menapakkan kakinya menyusuri hutan menggiring Devin ke suatu tempat yang tak dia ketahui.

"Bunga, sebenarnya kita mau kemana sih?" tanya Devin suatu ketika.

"Nanti kamu juga akan tau." jawab Bunga tanpa ekspresi.

Mereka terus berjalan dengan Devin yang mengikuti Bunga dari belakang. Dia tak memperdulikan langkahnya yang telah jauh memasuki hutan, dan terus mengikuti Bunga yang berjalan di depannya.

Mereka terus melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan cukup jauh memasuki hutan, akhirnya tibalah mereka di tempat yang dituju. Bunga berhenti dan diam memandang kearah sebuah rumah besar dengan arsitektur Belanda di depannya.

Rumah yang seperti tidak terurus, banyak daun menjalar yang memenuhi setiap sudut rumah itu. Cat yang sudah menguning serta kaca hitam gelap yang menjadi pelengkapnya. Devin masih diam menatap kearah rumah itu, hingga tanpa sengaja sudut matanya menangkap hal lain di sebelah rumah itu.

Mirip pohon beringin tua dengan sebuah ayunan berkarat berdiri kokoh di sebelah rumah itu. Mungkin akan terlihat sejuk bila kita berteduh di bawahnya pada siang hari tapi bila malam tiba mungkin akan lain lagi ceritanya.

"Jangan dilihatin terus, ayo." ucap Bunga tiba-tiba.

Mendengar itu Devin pun menoleh, dia melihat Bunga telah berjalan mendahuluinya menuju rumah itu. Dan tanpa pikir panjang Devin pun berlari. Ia berhasil menyamakan langkahnya dengan gadis itu.

"Pasti rasanya menakutkan tinggal di rumah ini jika malam hari." batin Devin seraya menatap bangunan besar di hadapannya.

"Tidak juga kok." sahut Bunga tiba-tiba.

Mendengar ucapan Bunga yang tiba-tiba membuat kedua alis Devin menyatu.

"Apanya yang tidak?"

"Bukan apa-apa, ayo masuk."

Bunga pun langsung membuka pintu besar itu dengan satu tangannya. Sesampainya di dalam, Devin disambut oleh bau-bauan aneh yang sangat pekat. Bukan aroma pengharum ruangan tetapi mirip dengan aroma dedaunan. Netranya pun sudah berpetualang menjelajahi rumah itu.

Rumah yang terlihat tak terurus dari luar ternyata jauh berbeda saat di dalam. Rumah ini memang besar, dan mewah hanya saja sedikit kuno. Banyak lukisan miring dan juga barang-barang yang ditutupi kain putih. Ada juga kursi goyang di sudut ruangan dan tangga yang mengarahkannya ke lantai dua.

"Vin, mulai hari ini kamu tinggal di sini ya. Di rumah aku?" Ucap Bunga memecah fokus Devin pada penelusuran rumah itu.

Devin sempat tersentak lalu menoleh kearah Bunga.

"I...ini rumah kamu?" tanya Devin dan setelahnya Bunga pun mengangguk.

"Iya, dari pada kamu tinggal di pohon itu mending kamu di sini kan, maaf ya kalau seumpama kamu nggak nyaman sama kondisinya." jawab Bunga lembut seraya tersenyum.

Devin hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Gak masalah. Tapi dimana orang tua kamu?" tanya Devin kemudian.

"Aku tinggal sendiri disini. Orang tuaku sudah lama meninggal." jawaban Bunga membuat Devin terdiam.

"Kamu serius? Maaf ya, aku nggak tau kalau ternyata kamu yatim piatu." Devin pun menatap sedih kearah Bunga yang tertunduk.

"Nggak masalah. Yaudah yuk aku antar ke kamar kamu di lantai dua."

Setelahnya Devin mengikuti Bunga menaiki tangga menuju lantai dua. Tangganya tak begitu panjang, dan sebentar saja kami sudah berada di lantai dua rumah ini. Bunga tak bicara, ia langsung berjalan ke salah satu ruangan lalu memasukinya.

"Vin, mulai hari ini kamu tidur di sini, ya? Jangan sungkan, anggap aja seperti rumahmu sendiri." ucap Bunga seraya memperlihatkan seisi kamar pada Devin yang terus terdiam.

"Baiklah, tapi kamu?"

"Aku tidur di kamar sebelah, jangan khawatir." jawab Bunga seraya tersenyum tipis.

Devin pun turut tersenyum lalu berjalan kearah gadis itu.

"Tapi, ada satu hal yang harus kamu patuhi jika berada di rumah ini." mendengar itu Devin pun berhenti lalu mengernyitkan keningnya.

"Kamu tidak diperbolehkan untuk keluar kamar setiap pukul dua sampai pukul empat pagi."

"Ha? memangnya ada apa pada jam-jam itu?" tanya Devin.

"Tidak ada apa-apa. Vin, lekas istirahatlah, aku akan keluar. Nanti jika perlu sesuatu panggilah aku seperti yang pernah ku katakan."

Setelahnya Bunga keluar dan meninggalkan Devin tuk beristirahat di kamar itu.

Namun, sepeninggal Bunga, Devin terlihat duduk terdiam di tepian ranjang. Pandangannya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Pikirannya terus dibayangi akan percakapan Devan dan juga Linda kemarin hari.

Apa yang membuat mereka sampai sebenci ini padanya?? Apa dirinya pernah melakukan kesalahan pada mereka sebelumnya? Tapi rasa-rasanya tidak, lalu mengapa? mengapa mereka melakukan itu?

"Aku sudah lelah dengan semua ini, semoga saja kebenaran itu bisa secepatnya terungkap ." batin Devin.




Bersambung.....

















My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang