Bab. 27 (Darto POV)

117 1 0
                                    

Hari menjelang sore ketika mobil yang kukendarai ini akhirnya terparkir rapi di depan sebuah rumah sederhana bercat putih dengan sebuah pagar pendek yang mengelilinginya. Rumah sederhana namun sangat terawat langsung menyambut penglihatanku.

Udara berhembus pelan, dan burung-burung berkicauan, suasananya begitu sepi bahkan tak kudengar satupun suara dari dalam rumah ini. Apakah rumah sedang kosong?

Lalu akupun mengetuk pintu kayu di depanku dengan sedikit kuat. Cukup lama aku menunggu hingga terdengarlah sahutan dari dalam dan pintu pun terbuka.

Krek ...

Pintu terbuka, muncul sosok perempuan dewasa yang masih terlihat cantik seperti biasa. Rambutnya tergerai bebas, dan bajunya dress selutut berwarna merah. Dia menatapku dengan kaget dan tubuhnya pun terlihat sedikit bergetar.

Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku, karena saat melihatnya sedekat ini membuatku teringat saat-saat dimana kita masih satu keluarga dulu. Bahkan, wajahnya pun masih sama. Masih cantik, dan alami.

"Kamu, untuk apa kau kemari?!" tanya Linda begitu jutek.

"Aku tak tau apa yang ada di kepalamu sampai kau berani berbuat demikian. Tapi, aku kemari hanya mau memberikan ini padamu." setelahnya ku serahkan surat gugatan cerai yang telah kuurus beberapa saat lalu di pengadilan pada Linda. Dia menyatukan kedua alisnya lalu menerima surat dariku itu.

Dia menatap kearah ku dan Bianca lalu membuka surat itu dan membacanya.

Matanya tampak berbinar, senyumnya tersungging, dan dia pun terlihat bahagia.

"Terima kasih karena kalian sudah mengantarkannya padaku. Jadi dengan ini kita sudah bukan suami istri lagi, dan rumah ini, rumah ini akan menjadi milikku dan Devan. So, terima kasih dan silahkan pergi dari sini." ucapnya santai.

"Ck, sialan. Dasar perempuan tua, rumah ini punya suamiku tau, bukan punyamu, jadi yang harus angkat kaki tuh kamu bukan kami!"

Bianca tampak mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan ledakan amarah yang pasti tengah membuncah dalam dadanya saat ini.

"Kau tidak tau ya kalau sebelum kami menikah, Darto sudah mengalihkan seluruh harta bendanya atas namaku, termasuk surat tanah rumah ini. Jadi, bisa disimpulkan kan, siapa yang harus pergi dari sini?!" Linda nampak menatap tajam Bianca namun dia sama sekali tak melakukan apapun.

Kulihat Bianca akan kembali bicara namun kutahan dia. Aku tak ingin keadaan menjadi lebih keruh. Alhasil, akupun mengalah, dan pergi dari sini bersama dengan Bianca tentunya.

"Mas! Kamu kenapa nyerah gitu aja? Rumah itu punyamu kan? Harusnya dia yang pergi bukan kita. Lagian, untuk apa kamu alihkan seluruh hartamu atas namanya? Apa dia yang minta?" tanya Bianca sesaat kita telah berada di dalam mobil.

Aku terdiam, tak tau harus mengatakan dari mana. Karena memang benar, jika rumah itu memang rumahku, rumah peninggalan kedua orang tuaku. Namun, sebelum aku menikah dengan Linda, dia meminta agar seluruh hartaku dialihkan nama menjadi namanya. Aku saat itu hanya nurut-nurut saja karena aku begitu mencintainya, bahkan aku rela melakukan apapun demi dirinya.

"Mas! Kamu dengar aku nggak sih?!" tegur Bianca.

"Iya, rumah itu memang rumahku, tapi apa yang tadi dia bilang juga tidak salah. Semua hartaku telah diatas namakan menjadi namanya. Kamu, jangan pernah tanya kenapa alasannya, karena aku cukup sakit hati mengingat itu. Mengingat kebodohanku." ucap Darto dengan tampang frustasi.

"Jadi bener kan kalau dia yang sudah nyuruh kamu melakukan itu. Mas! Kenapa sih kamu alihin hartamu atas namanya?! Kenapa kamu nurut banget sama dia? Kamu cinta ya sama dia, atau saat ini pun kamu masih ada perasaan sama dia?! Jawab mas!" tuding Bianca seraya menangis dan meluapkan kekesalannya.

Namun bukannya menjawab, Darto justru mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia begitu fokus hingga mengabaikan umpatan serta jeritan ketakutan dari Bianca.

"Mas! Kamu sudah gila ya, pelan-pelan saja, aku masih belum mau mati!" teriak Bianca.

"Bi, kita harus menyelesaikan ini sekarang juga." jawab Darto tanpa menoleh.

"Menyelesaikan apa?"

"Sudahlah kamu ikut saja denganku. Kita akan bersenang-senang sampai emosimu mereda." Ucap Darto seraya tersenyum menatap kearah Bianca sekilas.

"Hah? Bersenang-senang, dimana dan melakukan apa?" tanya Bianca lagi.

"Sesuatu yang panas dan nikmat. Kita akan melakukan itu di permata hotel malam ini." jawab Darto seraya tersenyum miring.

Mendengar itu Bianca pun meneguk salivanya susah payah. Jantungnya berdebar begitu keras. Dia paham dan tau apa yang Darto maksud, akan tetapi mendengarnya lagi membuat Bianca begitu ngeri. Wajahnya memerah, dan dia sama sekali tak dapat menyembunyikannya.



............................................


Kini disinilah aku berada. Di balkon ruangan hotel tempat ku memadu kasih dengan perempuan pujaanku, Bianca. Dia tertidur selepas kami selesai melakukan permainan hingga lima ronde dan melakukan pelepasan bersama. Wajahnya begitu berpeluh, dan nampak kelelahan. Aku menciumnya sekilas lalu menutupi tubuh polosnya dengan selimut.

Karena aku masih belum mengantuk, turunlah aku dari kasur. Kupakai kembali pakaianku lalu berjalanlah aku menuju balkon hotel. Cukup lama aku berdiri diam disana sambil memandangi suasana kota jakarta di malam hari.

Ku Hela nafasku berulang kali. Mencoba membuang sisa-sisa masalah yang menghimpit kepalaku dan memaksaku tuk terus memikirkannya.

Alvon. Bahkan sampai detik ini lelaki itu sama sekali belum menghubungiku. Aku memang sempat berganti nomor namun Bianca bilang dia telah memberikan nomor baruku pada Alvon. Tapi hingga detik ini anakku itu masih belum menghubungiku sama sekali. Akahkah dia marah padaku sampai tak mau berhubungan lagi denganku seperti ini? Atau dia belum menerima pesan dari Bianca? Tapi kenapa? Bukankah Bianca bilang dia telah memberikannya?

"Apa ku telpon saja ya, tapi sudah berulang kali ku telpon, dia sama sekali tak menjawabnya. Apa ku coba lagi, semoga saja kali ini dia mau menerima telponku." ucap Darto sendiri.

Bersambung ...

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang