Bab 49. Memilih mati

81 1 0
                                    

"Oke, sayang, kita bawa Devin ke dalam ya, kamu turun dulu biar tubuh Devin aku yang angkat." setelah selesai memberi kabar Linda mengenai Devin, Darto dan Bianca pun membawa Devin ke dalam rumah sakit.

"Oh oke mas." setelah mengatakan demikian, turunlah Bianca dari mobil.

.....................................


Sudah dari beberapa jam yang lalu Bunga mencoba menyembuhkan Devin namun nihil, hasilnya tetap sama aja. Tubuh Devin masihlah sama seperti semula, memar memar, perih dan juga terasa panas. Tak ada yang berkurang sedikitpun dari pengobatan Bunga itu.

"Astaga, bagaimana ini, Vin? kekuatanku tidak bisa menyembuhkanmu, kekuatanku terasa mental saat terkena tubuhmu, sebenarnya kenapa ini bisa terjadi, apa keberadaanku di dunia ini sudah hampir habis?" tanya Bunga sembari terjungkal ke belakang saking susahnya pengobatan Devin.

"Jangan mengatakan itu Bunga, kau masih lama berada di sini, keberadaanmu masihlah lama, jadi jangan pernah berkata itu lagi, setidaknya tunggulah aku." timpal Devin sembari mengerang kesakitan.

"Apa maksudmu itu Vin, kenapa kau menyuruhku untuk menunggumu, sebenarnya apa maksud perkataan mu itu, kamu setuju dengan ucapanku waktu itu?" tanya Bunga.

Mendengar itu mengangguklah Devin, ia masih sembari mengerang kesakitan mengiyakan ucapan Bunga.

"Iya Bunga, aku bersedia ikut denganmu ke alam selanjutnya, aku memilihmu, dan selamanya aku akan tetap bersamamu. Rasa cintaku padamu membuatku membulatkan tekad untuk memilih mati, karena hanya dengan cara itu, aku bisa terus bersamamu." balas Devin.

Mendengar ucapan Devin yang begitu tulus dan serius, berhasil membuat Bunga meneteskan air matanya, gadis itu menundukkan kepalanya dan terisak.

"Terima kasih Vin, kamu sudah bersedia ikut denganku, kamu memilihku dan mencintaiku. Terima kasih sayang." setelah mengatakan itu dan mengangkat wajahnya kembali, Bunga pun meraih tubuh Devin dan memeluknya begitu erat.

.............................


Setelah membawa Devin masuk dan di bantu suster menggunakan ranjang dorong, Darto dan Linda pun masih duduk di depan ruang IGD sembari  merasa cemas dan khawatir. Mereka takut Devin kenapa Napa, terlebih luka di tubuhnya itu terlihat sedikit serius dan seperti sudah lama, lukanya masih membekas namun terlihat mengering.

"Mas, semoga Devin tidak kenapa napa ya." ucap Bianca sembari memegang pundak Darto dan menoleh kearahnya.

Mendengar itu, menganggukkan lah Darto, ia menoleh sekilas kearah Bianca dan menyempatkan tersenyum kearahnya.

................................

Dert ... Dert ... Dert ...

Sesaat Devan tengah duduk di teras sembari menunggu Linda bersiap siap, tersentak lah ia sesaat mendengar teleponnya berdering dengan begitu kerasnya dari dalam saku celananya. Pas mau diangkat, kaget lah Devan sesaat yang menelpon tak lain dan tak bukan adalah Malika, bosnya itu menelponnya saat ini, dengan muka panik dan menengok kesana kemari, diangkatnya panggilan itu.

"Ha-halo bos."

"Van, bagaimana semalam, apakah menyenangkan bagimu, apa kau tertarik untuk melakukannya lagi bersamaku?"

"Maaf bos, semalam saya sudah kelewatan, saya sudah mencium bos dan menyentuh bos dengan liarnya. Sekali lagi maafkan saya bos, saya sungguh menyesal. Sa-saya bersedia dipecat jika bos menginginkannya."

"Loh, untuk apa aku mecat kamu, Van. Kamu itu pegawai favorit aku. Kamu orang kepercayaan aku, jadi apa yang sudah kita lakukan semalam, tidak akan mempengaruhi posisi kamu di cafe itu. Kamu tetaplah pegawaiku, dan karena kamu sudah memberikan servis terbaikmu semalam, hari ini juga aku akan menaikkan gajimu, oh iya sampai lupa, hari ini kamu nggak datang ke cafe ya, kata temanmu kamu lagi absen hari ini."

"Iya kak, aku lagi ada urusan ini, adikku masuk rumah sakit jadi sekarang ini aku mau ke rumah sakit bareng bibiku. Ehm oh iya kak, aku minta maaf ya sekali lagi untuk yang semalam, aku sangat sangat malu dan gak enak sama kakak sekarang."

"Van, udah gak usah dibahas lagi ya untuk yang semalam, anggap aja kamu gak sadar dengan apa yang kamu lakuin itu, dan waktu itu kamu mabuk kan, jadi ya wajar jika kamu sampe ngelakuin itu."


"Iya kak, tapi kakak baik baik aja kan, kakak nggak ngerasain apa apa kan setelah ngelakuin itu sama aku?"

"Iya Van, aku baik baik aja kok. Ini sekarang aku lagi ada di rumah karena acara keluarga. Ehm btw besok kamu ada acara nggak setelah pulang kerja?"


"Ehm kosong sih kak aku setelah pulang kerja, kenapa?"

"Temenin aku ke ke tempat saudaraku ya, di perumahan elit di jalan Ahmad Yani, aku ada acara keluarga di sana, dan papaku besok tuh sibuk banget makanya beliau tuh gak bisa datang, nah karena nggak bisa datang, papaku pun nyuruh aku buat datang. Please Van, kamu ikut aku ya ke tempat saudaraku itu."

"Ehm gimana ya kak, aku nggak enak kalau sampe pulangnya kemaleman, lagipula aku kan tinggalnya sekarang cuma sama bibiku aja, jadi kalau aku pergi, bibiku akan sendirian dong, kasian aku kak sama bibiku itu. Takut dia parno an lagi kayak dulu dulu."

"Cuma sebentar kok Van, nggak lama. Please ya, kamu temenin aku pergi."

"Kak, emang kakak nggak punya saudara atau siapa gitu yang bisa nemenin kakak kesana?"

"Gak ada Van, aku anak tunggal, temen temenku sibuk semua, sepupu sepupuku juga pada sibuk, please Van, cuma kamu ini yang bisa nemenin aku besok ke tempat saudaraku."

Mendengar alasan Malika yang terdengar serius, membuat Devan terdiam sejenak.

"Halo Van, gimana, kamu bersedia kan ikut denganku besok?"

"Eh, iya halo kak, iya oke, aku bersedia kok ikut sama kakak besok, ehm tapi kalau bisa pulangnya jangan kemaleman ya kak, nggak enak aku sama orang rumah."

"Oke Van, gampang itu, btw makasih ya kamu sudah bersedia ikut sama aku. Ehm gitu aja ya Van, dipanggil papa nih, bye."

panggilan terputus ....


"Van, siapa tadi, kok, kamu serius banget ngangkatnya, bahkan sampe senyum senyum lagi." tanya Linda jutek.

Devan yang baru saja selesai mengobrol dengan Malika di telpon langsung dibuat kaget oleh Linda yang tiba tiba saja sudah berada di belakangnya, sembari menyenderkan tubuhnya di pintu yang tertutup dan kedua tangannya yang terlipat di depan dada membuat Devan menciut seketika.

"Ehm, bosku yang, bosku. Oh iya kamu sudah siap kan, yuk berangkat keburu sore nanti." setelah mengatakan itu Devan pun bangkit dari duduknya dan mulai berjalan kearah motornya terparkir.

"Kok dia keliatan panik gitu, sebenarnya siapa sih yang nelpon dia tadi, kok setelah aku datang mukanya pucat gitu, aneh." batin Linda seraya melangkahkan kakinya ke tempat di mana Devan berada.

"Semoga saja Linda nggak denger deh, apa yang ku bicarakan dengan Malika tadi di telpon. Kalo Linda sampe tau dan denger, bisa habis gue." batin Devan seraya menyalakan motornya.

Bersambung ...

My Girlfriend is a Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang