Adam memang seorang pemimpin yang terkenal memiliki tangan besi alias kejam. Tapi di balik itu, mereka tahu atasannya itu seorang yang berdedikasi tinggi dan royal. Membuat mereka enggan melayangkan surat resign. Karena selain wibawanya. Gaji dan bonus yang diberikan DIB Group tidak lah main-main.
Adam mengajarkan kepada mereka. Apa yang mereka kerjakan itu lah uang yang mereka dapatkan. Semua itu dinilai langsung oleh tim HRD yang dipantau langsung oleh Adam. Jadi jangan heran jika karyawan DIB Group adalah orang-orang berkualitas secara mental dan pikiran.
Hanya saja, tangan besinya sempat loyo sejenak tadi. Sebab kehadiran Starla. Mulutnya seperti ditahan agar tidak mencerca seperti ini. Ia harus terlihat baik di depan Starla. Mengingat kejadian di departemen store furniture tadi. Starla membela Theo hanya karena Adam bercanda ingin memotong gajinya. Jujur Adam jadi was-was jika ketahuan memarahi bawahannya lagi. Untung saja Starla keluar. Adam bisa mengoreksi proposal hancur di depannya.
"Baik Tuan," jawaban itu terdengar kompak dan bersemangat. Adam tidak pernah meragukan kinerja bawahannya.
"Baiklah. Buatlah lagi. Saya beri waktu tiga hari. Lakukan riset lapangan dan cari keluhan masyarakat."
Di sisi lain Starla sedang menerima telepon dari Daniel. Rautnya terlihat kesal. Ia segera mengangkat layar dial itu.
"Hallo?"
"Sayang, sejauh ini bagaimana pekerjaan mu?"
"Aku Baik-baik saja."
"Baiklah, ingat pesan ku tadi pagi. Jika Tuan Adam melakukan hal aneh pada mu. Langsung hubungi aku. Oke?"
"Humm..."
Tadi pagi sebelum berangkat Daniel memang sempat memberi titah pada Starla untuk menghubunginya jika Adam macam-macam. Memang kepedulian apa yang dia miliki?
Hanya sekedar formalitas sebagai suami? Persetan! Starla tidak butuh itu. Lagi pula Percuma menghubungi Daniel. Toh, Starla sudah membuat kesepakatan tabu dengan mempertaruhkan tubuhnya.
Untuk saat ini beruntung tangan Adam masih seperti itu sehingga hak perjanjian itu bisa ditunda. Tapi, semua ini hanya tentang waktu. Setelah Adam sembuh total. Mau tidak mau Starla harus menyerahkan tubuhnya.
Daniel mana tahu pengorbanan yang ia lakukan demi menyelamatkan perusahaan mendiang Papanya. Yang ia tahu hanya cara merebut harta warisan Starla. Baj*ngan licik! Rubah si*lan!
"Ya sudah. Hati-hati sayang," ujar Daniel di seberang sana.
"Humm...."
Panggilan diakhiri. Starla menatap nanar pada layar handphone. Tanpa disadari kenyamanan hidupnya perlahan menghilang. Setelah mengenal Daniel dan berhubungan dengannya ia seperti menginjak lumpur hitam yang susah sekali dihilangkan. Mau sejauh apapun Starla melangkah, lumpur itu akan terus meninggalkan jejak hitam.
Starla membencinya! Sangat membencinya!
"Hah, simpan kebencian mu Strala! Ada saat di mana dia akan menerima karmanya!"
Benar! Yang harus Starla lakukan saat ini adalah fokus menyelamatkan perusahaan Papanya dari ancaman pemutusan kontrak kerja dengan Habsyi Al Farezi.
Starla harus kuat! Ia menepuk pipinya berulang kali. Ia harus bangkit. Ada tujuan yang harus ia raih.
"Semangat Starla!" gumamnya.
Ia menoleh ke arah jam tangannya dan mendapati jam 11;55 menit. "Ah, bukannya ini waktunya minum obat?"
"Aku meninggalkan obatnya di ruang meeting. Sudah selesai belum ya?" gumam Starla. Ia bergegas menuju ruang meeting dan ternyata banyak orang yang keluar dari ruangan itu. Menandakan bahwa meeting baru saja selesai.
"Maaf. Aku harus menerima telepon tadi," ucap Starla kepada dua pria yang spontan menoleh ketika Starla memasuki ruangan.
"Telepon dari siapa?" tanya Adam. Wajahnya jauh sekali dari kata ramah.
"Dari seseorang," jawab Starla. Entahlah, tiba-tiba ia tidak ingin jujur karena instingnya bilang hal itu akan memperkeruh suasana.
"Hemm... baiklah," Adam memutar kursinya ke arah depan dengan wajah cemberut. "Anggap saja aku hanya angin," sambungnya bergumam.
Starla mengernyitkan dahi. Apa ini? Adam terlihat seperti bocah SD merajuk.
"Nona...." bisik Theo. "Sepertinya Tuan Adam dalam mood yang buruk," ucap Theo. Ia tidak bisa bilang kalau bosnya sedang cemburu. Itu di luar ranahnya. Perihal perasaan biarkan bosnya sendiri yang mengungkapkan. Yah, walaupun Theo percaya gadis di sampingnya adalah tipe wanita mandiri yang sulit ditaklukan.
"Hemm. Begitu...."
Berbeda dengan pola pikir Theo. Starla justru menganggap Adam bad mood karena meeting tadi.
"Tuan Adam?" panggil Starla. "Ini sudah saatnya minum obat."
"Humm...." dehem Adam tidak bersemangat.
"Kalau begitu aku akan reservasi tempat makan siang," sahut Theo. "Apa Tuan dan Nona ingin request sesuatu?"
"Aku ikut saja," sahut Starla.
"Aku juga," sambung Adam.
Theo pun mengerti dan segera mencari resto terdekat. Tentu saja walau mereka bilang terserah nyatanya Theo tidak segampang itu menunjuk resto asal-asalan. Mereka adalah kaum sosialita yang sudah biasa mencicipi masakan bintang lima. Theo harus berusaha. Terlebih ada Starla. Ia tidak ingin terlihat buruk di depan wanita itu.
"Tuan?" panggil Starla lagi. Kali ini ia sudah menggenggam wadah obat milik Adam.
"Tolong panggil aku seperti biasa saat hanya kita berdua."
"Ini masih ranah pekerjaan," sangkal Starla.
"Aku tidak peduli," sahut Adam lirih. Ia terlihat sibuk mencoret-coret proposal tadi.
"Apa meeting tadi membuat mu kesal?" tanya Starla.
"Tidak."
"Lalu apa yang membuat mu cemberut dari tadi?"
"...."
"Hah. Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Hak mu mau kesal atau tidak. Tapi, tolong minum obat mu dulu," usul Starla.
"Kalau begitu...." Adam berbalik menghadap Starla. Menatapnya sendu dan berujar. "Masukkan obatnya!" titah Adam mutlak sejurus kemudian ia membuka mulutnya.
Dalam situasi ini siapa yang tidak terkejut? Starla jadi dibuat merona sendiri. Dasar playboy kelas kakap!
"Masukkan sendiri! Kamu kan punya tangan!" tolak Starla.
"Tangan ku di gips."
"Yang satunya!"
"Yang satunya sibuk merevisi proposal," dalih Adam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan ini.
"Ayolah, kamu harus melaksanakan job desk mu bukan?" sambung Adam.
"I-ya tapi tidak begini...."
"Hemm?" goda Adam. Ia sadar pipi Starla memerah.
"B-baiklah. Cepat buka mulut mu!" tantang Starla.
Adam pun membuka mulutnya. Merasa kesusahan. Starla pun berujar. "Julurkan lidah mu!" Ia tidak peduli jika Adam merasa kepahitan. Yang penting ia sudah menjalani job desk nya.
Mau tahu pikiran Adam saat ini? Ia sudah tidak bisa berpikir rasional lagi. Otaknya dipenuhi semak belukar yang menutup bagian kewarasannya.
Saat pil itu berhasil mendarat di lidah Adam. Tanpa hambatan tangannya menahan lengan Starla.
Dalam pikiran absurt mendekati gila. Adam melayangkan tatapan memuja sebelum mengecup jemari Starla dengan penuh hasrat menggelora. Ah, dia sudah di luar kendali.
Berharap Starla terbuai dengan adegan romantis ini? Lupa ya kalau Starla itu wanita kaku yang hanya memikirkan balas dendam?
PLAK!
Suara tamparan keras menggelegar seisi ruangan. Starla menatap nyalang.
"Br*ngsek!"
Tbc
Bantu vote komen yah. Share juga dong 😀
KAMU SEDANG MEMBACA
Lipstik Merah Starla (END)
ChickLitStarla Faranggis dan Adiputra Daniel memutuskan menikah setelah menjalin kasih selama dua tahun. Siapa yang menyangka di malam pertama Starla memergoki Daniel tengah bermain api bersama Alarie, teman terdekatnya. Kejanggalan aneh pun satu persatu...