Fight 48

24.7K 1.4K 21
                                    

"Dia siapa?"

Starla dan Shia kompak menoleh. Interupsi itu mengakhiri pose berpelukan dua wanita yang tengah mengadu nasib.

Sosok jangkung dengan jas andalan yang biasa ia pakai. Theo tengah berdiri dengan tampang datar yang sulit diartikan.

Harapan mereka sama. 'semoga Theo tidak mendengar keluh kesah Shia barusan'. Karena jika tidak, mau ditaruh mana wajah Shia. Starla sebagai perempuan pun akan terseret malu karena sejatinya wanita itu harus menunggu. Ini justru hampir saja ketahuan.

"Nona Starla, Tuan Adam mencari mu. Waktu istirahat sudah selesai," sambung Theo mengabaikan raut terkejut dua wanita di depannya.

"O-Oh... oke, maaf Shia, aku harus segera kembali," tutur Starla gugup.

"O-oke," jawab Shia yang tak kalah gugup.

Theo tidak langsung mengekor. Ia masih jejak di tempat. Memperhatikan Shia. Tentu saja hal itu membuat Shia tersipu malu.

"K-kenapa?" tanyanya gugup.

"Ah, tidak. Aku hanya berpikir apakah kamu sudah menemui keluarga mu?"

"Humm.... Sudah."

"Syukurlah, aku harap tidak ada kabur untuk kedua kali," goda Theo dengan senyum tengil.

Di situasi ini siapa yang tidak bisa menahan diri untuk blushing?

"Apa sih?!" pipi Shia memerah. Untuk menutupi, Ia melempar tisu yang sejak tadi ia remas untuk menutupi rasa gugup.

Berharap Theo langsung pergi tanpa menghiraukan Shia. Ia justru memungut tisu itu tanpa aba-aba. "Jangan buang sampah sembarangan. Nanti Tuan Adam marah," ucap Theo menceramahi.

"Kamu naik apa kemari?" sambung Theo.

"Mobil."

"Hemm... berhati-hatilah. Kamu sudah lama tidak mengendarai mobil di Indonesia. Letak Kemudinya berbeda dengan di Kanada."

"Itu tidak masalah karena aku dibesarkan di sini. Aku hanya beberapa tahun di Kanada. Seharusnya kamu ingat itu."

Theo tersenyum simpul. "Baiklah, kalau begitu kamu akan baik-baik saja. Salam untuk keluarga mu."

Ia kemudian pergi sambil membuang tisu itu ke kontak sampah.

"Dasar bangau!" dengus Shia. Diam-diam ia mengawasi kepergian Theo sambil tersenyum.

***

B

RAK!

PYAR!

"Kurang ajar! Ternyata dia mengacuhkan ku demi mengantar Starla bekerja?"

"Huh! Baj*ngan!"

Alarie duduk di tepi ranjang kontrakan yang ia tempati. Dingin suasana malam sehabis hujan terasa mencubit. Lagi, malam ini ia harus merasakan sakit karena kecewa. Air mata seolah sudah biasa menemaninya di setiap malam menjemput.

"Daniel...." guamamnya seraya menilik potret Daniel di nakas.

"Apa kekurangan ku yang membuat mu tidak puas? Aku sudah memberikan segalanya. Aku sudah mengorbankan banyak hal. Tapi kamu tetap saja melirik perempuan j*lang itu!"

"Sebenarnya apa kekurangan ku. Hiks."

"Tidak! Ini bukan karena ku. Ini karena j*lang itu!"

"Starla si*lan!"

"Sebaiknya kamu mati saja! Dasar penganggu!"

"Huhuhu... Daniel... aku tulus mencintai mu. Aku yang paling mengerti kamu. Tapi kenapa kamu tidak pernah melihat ketulusan ku? Hiks."

Ranjang dingin hanya berbalut bed cover dengan motif bunga lavender menjadi tumpuan Alarie. Ia merebahkan dirinya seraya meringkuk memeluk potret Daniel dalam handphone.

"Daniel... apa lagi yang harus aku korbankan untuk membuktikan kesetiaan ku?"

Perlahan tangannya meraba perut datarnya. Dada Alarie sesak ketika mengingat kilas balik masa lalu yang membuatnya terjungkir balik hingga nyaris mengakhiri hidup. Tak dapat dipungkiri, satu nyawa telah dikorbankan demi masa depan. Namun siapa yang menyangka masa depan akan seperti ini?

Lagi-lagi Alarie tidak bisa sepenuhnya memiliki Daniel. Selama Starla masih ada. Hati Daniel akan terbagi dua. Seperti pohon yang bercabang.

Lalu Alarie akan menjadi cabang yang kering dan gugur daunnya. Karena semakin ke sini, Alarie merasa Daniel diam-diam menyembunyikan perasaannya.

Alarie tidak bodoh. Saat bersama Starla tatapan yang dilayangkan Daniel sangat berbeda. Penuh binar bahagia.

Hati manusia memang tidak pernah bisa ditebak! Manusia adalah tempatnya kecewa. Seberapa cinta dan sayangnya seorang hamba. Maka akan tetap kalah dengan sebarapa sayangnya sang pencipta kepada ciptaannya. Dan di sini lah Alarie, ia begitu cinta terhadap manusia sampai lupa dengan cintanya pada sang pencipta.

Air mata lagi-lagi menetes. Membasahi ranjang tempat di mana ia meringkuk kedinginan. Dengan kenangan pahit yang senantiasa menghantuinya. Ia terlelap bersama angin malam.

Flashback On

Bunyi keroncongan padam bersama berisiknya hilir berganti orang lewat di taman kampus. Seorang gadis dengan kemeja pink polos duduk di kursi taman sambil menatap dua sejoli yang tengah menikmati roti isi.

Ia mengeleng penuh kesadaran. Dirinya lapar, tapi ia harus fokus dengan layar handphone yang menunjukan lowongan kerja part time.

"Ayolah Alarie, kamu tidak akan bisa menikmati roti isi itu kalau kamu tidak bekerja. Semangat!" gumamnya.

Sudah dua hari Alarie hanya sarapan dengan air putih. Ia bertahan hanya dengan makan siang gratis yang disediakan salah satu UKM di kampus karena sedang menjalankan suatu event.

Tepat lima hari yang lalu Alarie diusir dari rumah lansia yang memungutnya di jalan dan mengangkatnya sebagai cucu.

Alarie masih mengingat bagaiaman mereka mencaci Alarie dengan sebutan gelandangan. Ya, Alarie memang dipungut di jalan oleh Nenek Ina yang iba. Alarie menemani masa tua Nenek Ina yang tidak didampingi oleh sanak keluarga.

Alarie diperlakukan seperti anak. Di sekolahkan dari SMA hingga kuliah. Namun sayang, umur Nenek Ina tidak panjang.

Sekarang, tepat saat Alarie menginjak bangku kuliah, Nenek Ina meninggal. Alarie berteriak lantang ketika duka menyelimuti kediaman Nenek Ina. Ia menghujat anak-anak lainnya yang tidak pernah memberikan perhatian sampai Nenek Ina menghembuskan nafas terakhir.

Alarie di luar kendali saat itu. Ia kehilangan satu-satunya orang yang menyayanginya. Lalu, beginilah semesta bekerja. Menindas siapa pun yang lemah. Alarie diusir hanya dengan membawa uang saku satu juta. Itu pun mereka sempat berunding lama sebab mendiskusikan masalah biaya kuliah Alarie yang sudah dibayar lunas sampai akhir semester oleh Nenek Ina. Mereka ingin menariknya namun tidak bisa. Alhasil Alarie masih bisa berangkat kuliah walaupun dengan penampilan kusam dan perut keroncongan.

Sebagai orang yang pernah ditelantarkan oleh orangtua kandung. Alarie tidak menyerah begitu saja. Ia bertahan di kosan campur yang tidak ada pembatas antara laki-laki dan perempuan. Ia mencari kerja paruh waktu sambil menyesuaikan jam kuliah. Tidak apa! Ia bisa melalui ini seperti biasa.

"Ah, kelas ketiga ku sudah mulai," beo Alarie. Ia bergegas ke kelas guna mencari lokasi tempat duduk.

Jujur pandangannya tampak buram. Ia mengerjapkan mata untuk melihat tulisan di proyektor. Perutnya pun semakin melilit. Alarie merebahkan kepalanya sejenak. Berharap Posisi duduk di belakang membuatnya tidak ketahuan oleh dosen.

Desisan ringan keluar dari bibir Alarie. Ia menahan perutnya yang semakin melilit sampai suara seseorang mengundang atensinya untuk menoleh.

"Kamu kenapa?" sahut suara bariton.









Tbc

Siapa hayo?

Tebak gih 😁

Vote komen yak

Lipstik Merah Starla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang