Alden layaknya seorang penyihir jahat, yang berhasil melepaskan kutukannya pada Annavia- sang mantan pacar, sekaligus sahabatnya sejak masih kecil. Mereka pernah menjalin hubungan semasa SMA, tapi tiba-tiba saja putus karena Alden secara terang-tera...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hidup adalah soal menerima dan melepaskan. Melepaskan sesuatu yang dulu pernah menjadi bagian terbaik dari hidupmu. Melepaskan beban dan masa lalu yang suram dan menyedihkan. Melepaskan kebencian dan dendam yang selama ini menghantui pikiran. Namun pada kenyataannya, melepaskan tidak semudah yang diucapkan."
—To Heal Is To Let Go, Adi K.
****
"KEKASIHNYA Felicya Aletha akhirnya datang juga!" Ucap Nathan dengan suara yang cukup keras saat melihat kedatangan Alden.
Yang lainnya pun dengan serempak langsung menoleh ke arah Alden.
Malam itu, Alden, bersama Nathan, Yumi, Safira, dan Windy berkumpul bersama di coffee shop yang dulunya sering mereka datangi ketika masih kuliah. Seperti biasa, ketika mereka bertemu untuk berkumpul, Alden selalu melihat wajah sahabatnya satu per satu untuk memastikan apakah ada Annavia di antara mereka atau tidak. Namun meski begitu, meski yang lainnya juga tahu siapa yang sedang Alden cari dan untuk siapa Alden datang, tidak satu pun dari mereka yang berani menyebut nama Annavia.
Sejak kecelakaan itu, Alden sudah mulai menyerah untuk menunjukkan perasaannya di depan sahabat-sahabatnya. Semua kerinduan yang ia pendam untuk Annavia, rasa sakit dan sesalnya, juga penantiannya, Alden menyimpannya rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Alden menyimpannya serapat mungkin, hingga tidak seorang pun dapat membaca isi hati dan pikirannya.
Alden memilih untuk tidak menjawab keisengan Nathan. Ia hanya diam saja dengan ekspresi datar, lalu menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi yang letaknya tepat di samping Yumi. Yumi tersenyum canggung pada Alden. Namun sekali lagi, Alden hanya menunjukkan ekspresi datarnya.
Sementara dalam diam, Windy terus memperhatikan Alden tanpa henti. Pandangannya terlihat... bersalah.
"Al!" Panggil Windy cukup keras. Saat itu mereka sudah mengakhiri pertemuan mereka.
Alden yang saat itu hendak memasuki mobilnya, langsung mengurungkan niatnya lalu berbalik bertepatan dengan Windy yang sudah berdiri di hadapannya.
"Iya, Win?"
"Denger-denger lo lagi libur, ya?"
Alden mengangguk sebagai jawaban.
"Ada rencana mau liburan?"
"Apa lo pernah lihat gue pergi berlibur meski sedang libur?" Tanya Alden dengan dingin.
Windy hanya mengangguk maklum, seakan paham bahwa Alden yang sekarang sudah benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dari Alden versi tiga tahun yang lalu.
"Nggak mau nyoba liburan kali ini? Nggak kangen sama pulau Banu?" Ucap Windy dengan pandangan yang tiba-tiba serius. Tatapan matanya seolah mengatakan, bahwa Alden memang harus pergi ke sana.