Bab 24. Harapan dan Kebohongan
"Sampai di sini, bolehkah dia berharap kelak Alden akan menjadi suaminya? Di masa depannya nanti, dapatkah ia berharap untuk bisa melihat Alden setiap kali ia membuka mata di pagi hari? Menghabiskan waktu bersama hingga tua menjelang, bolehkah Annavia berkeinginan agar harapnya menjadi nyata?"
****
"A—ALDEN, tolongin gue!" Ucap Annavia dengan suara lemas sambil berusaha menahan rasa sakitnya melalui sebuah sambungan telepon.
Alden yang baru saja tiba di sebuah club untuk memenuhi undangan salah satu temannya dalam sebuah perayaan pesta yang rutin diadakan sebelum ujian semester, langsung pergi dari tempat itu tanpa berpikir panjang. Suara Annavia yang seperti orang sekarat membuatnya sangat cemas dan tidak bisa berpikir jernih barang sedetik pun. Belum lagi, Annavia hanya sendiri di rumahnya.
Minggu ini, Mamanya pergi untuk menemani Papanya yang sedang bekerja selama beberapa hari, sementara Mbak Sukma, sang asisten rumah tangga sedang pulang kampung untuk membesuk anaknya yang sedang sakit. Berangkat dari hal itu, kepanikan Alden kian menjadi-jadi.
"Al, lo mau ke mana? Party sebentar lagi dimulai!" Tanya Deva—salah satu teman Alden saat mereka secara tidak sengaja berpapasan di pintu masuk. Tetapi Alden tidak sedikit pun menghiraukan pertanyaan dari Deva dan tetap berlari tanpa menghiraukan apapun.
Alden langsung memarkirkan mobilnya dengan serampangan di depan rumah Annavia. Dengan tergesa ia berlari masuk. Dan di dalam kamarnya sana, Annavia terlihat meringkuk kesakitan di bawah selimut sembari memegangi perut bagian bawahnya. Wajahnya pucat pasi, dan keringat bercucuran di dahinya.
"Annavia!"
Alden berjongkok di samping tempat tidur Annavia, ia lalu mengangkat kepalanya dengan pelan, "Vi, lo kenapa? Ayo ke rumah sakit! Lo bisa bangun, kan?"
Annavia menggeleng tanpa tenaga. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Annavia berucap, "nggak perlu ke rumah sakit. Tadi gue udah minum ibuprofen. Dan ini udah biasa terjadi setiap bulan."
"Lo begini setiap bulan, dan lo bilang nggak perlu ke rumah sakit?!" Ujar Alden dengan sorot mata tidak terima.
"Maafin gue sebelumnya, Al. Tapi apa lo bisa bantuin gue?"
Alden menatap Annavia dengan kedua alis bertaut. Firasatnya mendadak tidak enak.
****
Dan di sini lah Alden sekarang, di sebuah minimarket, melihat-lihat deretan rak yang dipenuhi pembalut berbagai macam merk dan ukuran di depannya.
Annavia —si biang kerok itu, meminta bantuannya untuk membelikan pembalut. Alden yang tadinya panik dan mengira hal buruk mungkin sedang terjadi pada gadis itu, ternyata hanya sedang mengalami dismenore. Sebuah gejala kram dan nyeri pinggul saat haid. Reaksi Alden terlalu berlebihan tadi. Dan ia seketika menyesali diri karena sudah mengangkat telepon gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta Pertama
RomansaAlden layaknya seorang penyihir jahat, yang berhasil melepaskan kutukannya pada Annavia- sang mantan pacar, sekaligus sahabatnya sejak masih kecil. Mereka pernah menjalin hubungan semasa SMA, tapi tiba-tiba saja putus karena Alden secara terang-tera...