Pagi telah tiba. Namun, Jeno masih terlelap tidur di atas ranjang kamar hotel milik Daffin dan Tiffany. Di saat yang lain sudah mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke mansion, Jeno masih saja tidur.
Tiffany tampak sedang sibuk menata barang-barangnya, sementara Daffin tampak duduk di sisi ranjang yang ditiduri Jeno sambil menatap anak bungsu kesayangannya yang masih tidur itu.
"Udah hampir jam 8 masih aja tidur dia," gumam Daffin.
"Biasa, mas. Di rumah kakeknya juga dia kalo tidur kayak gitu. Suka bangun siang. Kalo aku ngga bangunin berkali-kali, dia masih ngga akan bangun. Ngga inget sekolah dia. Dia kayak gitu karena kebiasaan tidur jam 3 atau jam 4 baru tidur. Jelas bangunnya jadi susah, lah! Pasti pusing jadinya kalo dipaksa bangun. Tapi dia dibilangin mau beratus-ratus kalipun bakal tetep aja kayak gitu," ucap Tiffany.
"Aku ngga tega bangunin dia, Tiffany. Dia pasti kecapekan. Apalagi gara-gara habis liat dia sesak napas kayak semalem, itu bikin aku jadi makin ngga tega mau bangunin dia," ucap Daffin.
"Sekarang masih aku biarin dia bangun siang. Tapi besok kalo udah waktunya masuk sekolah lagi, aku ngga bisa biarin dia bangun siang, dong? Aku harus tetep bangunin dia biar sekolahnya ngga telat," ucap Tiffany.
"Telat ngga masalah, Tiffany. Itu kan sekolah milik papanya," ucap Daffin.
"Ya ngga boleh gitu dong, mas. Nanti temen-temennya iri kalo dibeda-bedain kayak gitu. Lagian kalo dia masuknya telat terus, pasti kan banyak ketinggalan pelajaran. Kamu jangan terlalu manjain dia, mas. Nanti jadi kebiasaan. Aku suka manjain dia, tapi ngga yang kayak gitu. Jadi ya sekolah tetep harus taat sama aturan. Ngga ada mentang-mentang sekolah itu punya kamu, Jeno jadi seenaknya mau masuk jam berapa. Ngga boleh kamu ajarin Jeno kayak gitu ya, mas! Aku ngga mau dia jadi males nanti," ucap Tiffany.
"Iya-iya, deh. Ngga, kok," ucap Daffin.
Jeno lalu menggeliatkan tubuhnya sambil memanyunkan bibirnya lucu. Setelah itu, ia merubah posisinya menjadi miring menghadap ke arah Daffin yang duduk di sebelahnya. Daffin tampak tersenyum melihat putra bungsunya yang tidur sambil manyun itu. Daffin lalu mengelus rambut kepala Jeno membuat Jeno yang merasa dielus itu langsung menyingkirkan tangan Daffin. Namun, ia tidak melepaskan genggamannya pada Daffin setelah itu. Ia malah terus menggenggamnya membuat Daffin khawatir jika ia melepaskan tangannya dari genggaman Jeno, maka Jeno akan terbangun.
"Lihat, Tiffany! Dia malah genggam tangan papanya. Aku mau lepasin tapi takut dia bangun," ucap Daffin.
"Ya udah biarin aja kalo bangun. Lagian tidurnya juga udah lama, kan?" ucap Tiffany.
Daffin pun akhirnya mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Jeno dengan pelan. Namun, Jeno malah semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Daffin.
"Ngga mau dilepasin. Ini gimana, dong?" ucap Daffin.
"Hm, Jeno iseng banget sih, Jen!" ucap Tiffany sambil menggelengkan kepalanya.
Tok tok tok!
Pintu kamar Daffin dan Tiffany diketuk oleh seseorang dari luar.
"Siapa?" tanya Daffin.
"Ini papa," jawab opa.
"Biar aku aja yang bukain pintunya, mas," ucap Tiffany lalu menghentikan kegiatannya karena akan membukakan pintu kamarnya.
Ceklek! (suara pintu dibuka)
"Jeno mana?" ucap opa.
"Masih tidur, pa," jawab Tiffany.
"Loh, masih tidur? Dokternya udah nyampe, loh! Itu lagi mau ke sini baru nyampe lobby. Malah masih tidur aja?" ucap opa.
"Suruh dokternya aja nunggu 15 menit lagi, pa. Biarin anak aku puasin dulu tidurnya. Beri dia waktu sedikit lagi. Dia pasti masih ngantuk," ucap Daffin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second House√
Teen FictionDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (Sudah TAMAT!!!!) Kehancuran itu dimulai.. Berawal dari kisah kedua orang tuanya yang harus berakhir menyisakan luka.. Dari peristiwa kelam itu, membuatnya tumbuh menjadi seorang laki-laki yang tangguh dan pemberani.. Meski ban...