Sekitar pukul 2 dini hari, Jeno terbangun dari tidurnya karena ia merasa perutnya kembali terasa tidak nyaman. Ia tidur ditemani Daffin dan Tiffany saat itu. Hanya saja, ia tidak tidur di tengah-tengah seperti biasanya, karena tangan kirinya sedang diinfus. Oleh karenanya, posisi tidurnya saat itu adalah ia tidur di sisi kiri ranjang, Daffin di tengah-tengah, sedangkan Tiffany di sisi kanan.
"Papa.. perutku sakit banget, pa..," lirih Jeno sambil bergerak tak nyaman dan memegangi perutnya.
"Papa..," panggil Jeno sambil meringis kesakitan.
Daffin pun akhirnya terbangun dari tidurnya dan terkejut saat melihat Jeno terbangun sambil mengeluh sakit.
"Adek! Kenapa, dek?! Perutnya sakit lagi, sayang?!" tanya Daffin panik.
"Iya, pa..," jawab Jeno.
"Tiffany, bangun sayang! Jeno katanya perutnya sakit lagi," ucap Daffin membangunkan Tiffany yang tidur di sebelahnya.
Setelah Tiffany bangun, ia pun segera menatap ke arah Jeno dan tentu saja ia terkejut saat melihat keadaan Jeno saat itu.
"Sayang! Kamu kenapa?!" ucap Tiffany pada Jeno dengan raut wajah khawatirnya.
"Perut aku sakit banget, ma..," ucap Jeno.
"Sebentar, mama nyalain lampunya dulu," ucap Tiffany lalu beranjak dari ranjang untuk menyalakan lampu kamar Jeno supaya lebih terang karena sebelumnya lampu yang dinyalakan hanya lampu tidur saja.
Setelah menyalakan lampu kamar Jeno, Tiffany segera menghampiri Jeno yang sudah hampir menangis karena menahan sakit di bagian perutnya.
"Ma..," panggil Jeno dengan suara bergetar seperti ingin menangis.
"Iya sayang, mama di sini. Gimana? Kamu pengen muntah lagi ngga?" tanya Tiffany khawatir.
Jeno lalu menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Tiffany. Dengan cepat, Tiffany pun segera mengambil wadah di bawah ranjang dan mendekatkan wadah itu pada Jeno. Ia rupanya sudah menyiapkan wadah itu sebelum tidur, supaya jika Jeno tiba-tiba ingin muntah lagi, ia tidak perlu lagi kelabakan mencari wadah untuk menadahkan muntahan Jeno.
Daffin lalu membantu Jeno untuk duduk dan memegangi punggung serta bahunya karena Jeno saat itu terlihat sangat lemas sekali.
Jeno mengerutkan keningnya menahan rasa mual yang ia rasakan saat itu. Dengan sabar, Tiffany dan Daffin tampak menunggu Jeno memuntahkan isi perutnya. Beberapa lama menunggu, Jeno tak kunjung memuntahkan isi perutnya. Namun, ia beberapa kali tampak meludahkan cairan bening yang terasa pahit ke dalam wadah muntahan yang di pegangi Tiffany.
"Ma.. pengen muntah, tapi ngga bisa," lirih Jeno.
"Ngga pa-pa, sayang. Mama sama papa tungguin kok sampe Jeno muntahin muntahannya biar Jeno juga lega," ucap Tiffany.
"Huk.. eugh.. huk..,"
Daffin tampak mengurut pelan tengkuk belakang Jeno untuk membantu Jeno mengeluarkan isi perutnya. Namun, Jeno tetap tidak bisa mengeluarkan isi perutnya. Ia hanya mengeluarkan cairan bening yang rasanya pahit sekali.
"Ngga bisa, ma..," lirih Jeno dengan mata berkaca-kaca seperti ingin menangis.
"Nanti bisa, sayang. Harus sabar, ya..," ucap Tiffany.
"Tiffany, aku beneran ngga tega liat dia kayak gini. Apa kita bawa aja ke rumah sakit?" ucap Daffin kelewat khawatir.
"Ngga mau, pa.. jangan bawa aku ke rumah sakit..," ucap Jeno.
"Tapi papa ngga tega liat adek kayak gini," ucap Daffin.
"Ngga pa-pa, mas. Biasanya emang kalo belum dimuntahin rasanya pasti perutnya masih ngga enak. Nanti kalo udah muntah pasti lebih enakan perutnya," ucap Tiffany.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second House√
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (Sudah TAMAT!!!!) Kehancuran itu dimulai.. Berawal dari kisah kedua orang tuanya yang harus berakhir menyisakan luka.. Dari peristiwa kelam itu, membuatnya tumbuh menjadi seorang laki-laki yang tangguh dan pemberani.. Meski ban...