Sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang sudah sekian lama aku tinggali bersama mertua dan suami serta putraku, dulu. Aku sudah mengirimkan pesan pada Mas Attar jika kami sudah sampai rumahnya.
“Titip bapak dulu ya, Ma. Makasih banyak.”
Begitulah voice note yang terdengar dari chatroom kami. Bapak sudah makan siang dan kini sedang menemani cucu satu-satunya bermain basket di halaman depan. Sementara aku, sebisaku membantu sedikit tugas Mas Attar. Meski ini bukan tanggung jawabku lagi.
Aku membantu merapikan baju-bajunya yang belum disetrika. Ada dua gunung. Satu gunung milik Mas Attar dan bapak, sedang satu gunung lain murni milik ibu. Satu demi satu baju mulai licin dan rapi. Tumpukan semrawut itu perlahan menjadi tumpukan rapi. Tinggal memasukkan ke lemari.
Baju milik bapak dan ibu, aku biarkan di meja samping meja setrika, sementara milik Mas Attar, aku masukkan ke kamarnya. Kamar kami dulu. Hanya aku letakkan di atas Kasur saja. Semua tidak ada yang berubah di sana.
Foto kami bertiga masih terpampang di sana. Di sudut ruang, ada meja dengan tumpukan kertas yang tak teratur. Aku menemukan benda yang dicari putraku beberapa hari lalu, mainan unonya. Aidan sempat marah karena uno cardnya hilang. Namun, akhirnya terjawab sudah. Pasti ia lupa meninggalkannya di meja kerja sang ayah. Aku mengambilnya. Namun, ada hal yang mencuri perhatianku.
Ada sebuah benda yang tak sengaja terbuka pasca tersenggol tanganku. Sebuah kotak berisi kartu ucapan dan entah benda apa yang dibungkus kertas kado.
Happy anniversary, Istri hebatku. Terima kasih untuk sepuluh tahun ini. Maaf, aku tidak pernah memberi kamu hadiah atau merayakan anniversary kita. Insyaallah, besok aku bakal ngajak kamu sama Aidan liburan bareng. Semoga kamu bisa cuti ya waktu Aidan liburan sekolah, jadi kita bisa quality time bareng. Maaf, wacana ini selalu hanya jadi wacana karena keterbatasan ekonomi dan waktu. Tapi, aku sudah merencanakan matang untuk tahun ini, kita akan liburan bersama dan semoga aka nada kamu versi junior setelahnya. Itupun kalau sekiranya kamu siap. Aku nggak sabar pengen punya putri kecil, yang pasti akan secantik kamu.
Surat sekaligus kartu ucapan itu tertanggal dua hari sebelum surat gugatan ceraiku turun. Aku tidak pernah tahu Mas Attar mempunyai rencana seperti ini. Sial! Kenapa tadi aku harus masuk ke kamar ini. Kenapa aku harus lancang mengambil mainan Aidan. Kenapa… kenapa? Dan kenapa Mas Attar tidak menolak gugatanku jika dia masih menginginkan kami bersama?
Aku menangis sejadi-jadinya. Perasaanku kacau meski haidku sudah rampung pagi tadi setelah seminggu lebih aku harus berjuang dengan kram dan mulasnya.
“Mama?”
Aidan mendapatiku menangis di kamar ayahnya.
“Mama kenapa?”
“Enggak. Nggak apa-apa.”
Aidan mendekatiku, ia menatapku. Sedang, aku berusaha menyembunyikan air mataku.
“Mama sama ayah sama aja. Kalau duduk di sini pasti nangis.”
“Ha? Maksud kamu apa?”
Aidan mengambil kartu unonya di depanku. “Ah, ketemu. Di sini ternyata.”
“Kak, jawab dulu pertanyaan mama.”
“Hm?”
“Soal ayah yang nangis.” Aku menuntut cerita.
“Oh, itu. Ayah selalu nangis di sini. Aku tahu. Tapi kata Eyang, nggak apa-apa anak cowok nangis. Ayah kangen mama. Sama kayak aku kalau kangen mama sukanya nangis. Aku pernah bilang kenapa ayah nggak tinggal lagi sama mama sama aku. Dan ayah jawab kalau ayah terlalu cinta sama mama. Ayah nggak mau mama sedih terus. Ayah nggak mau mama tersiksa. Jadi ayah biarin mama milih jalan mama sendiri. Itu adalah cara ayah cinta sama mama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomansaKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...