Tubuhku rasanya seperti tak lagi bernyawa. Aku sudah berhibernasi selama itu. Ya. Setidaknya ponselku memberitahu jika sekarang sudah berganti hari. Aku ingat jika mulai merebahkan diri sejak pukul 14.00 hari Kamis, dan sekarang sudah hari Jumat. Gila bukan?
Aku memang tengah haid. Jadi, jangan tanya kenapa aku tidak bangun untuk salat. Aku bangun, sebentar. Setidaknya setiap empat jam, untuk sekedar minum dan membuang hal-hal tak perlu di tubuhku.
Hal pertama yang aku lakukan setelah hibernasi panjang adalah memantau jagoan semata wayangku yang aku titipkan pada sosok laki-laki, partnerku membuatnya dulu.
“Mama udah bangun?”
Bukan suara putraku yang terdengar saat aku menelpon nomor jagoan tampanku, melainkan suara laki-laki yang menjadi master duplikasi putraku.
“Hmm… kakak mana?” tanyaku dengan suara yang jelas tak merdu.
“Siap-siap jumatan. Baru mau berangkat. Mama udah makan?”
“Nanti anterin kakak pulang, ya. Makasih udah jagain dia dari kemarin.”
“Kamu sudah makan belum?”
Aku berusaha untuk terus berbicara sesuai keperluan saja. Sejak saat kami memutuskan untuk hidup sendiri-sendiri meski berbagi tugas mengurus Aidan, aku tidak ingin terlibat obrolan lebih selain apa perlunya.
“Kalau kamu repot, nanti biar aku yang jemput dia. Aku mau mandi dulu. Chat aja kalau udah selesai Jumatannya.”
Ada hembus napas terdengar dari ujung telepon. Aku paham, dia mencoba untuk membangun kehangatan kembali, tetapi semuanya sudah luluh lantak.
“Dek.”
Akhirnya panggilan itu terdengar. Biasanya, ia akan memanggilku mama. Seperti sejak pertama kali tahu jika aku mengandung Aidan, sebulan setelah kami menikah sepuluh tahun lalu.
“Hmm?”
“Dek.” Ulangnya. Aku paham jika ia tak suka dengan responku.
“Dalem, Mas. Kenapa?”
Bukan suara mantan suamiku yang aku dengar, tetapi sayup-sayup teriakan dari sang ibu, mantan mertuaku, terdengar keras.
“Bapak sih! Kenapa nggak liat-liat! Ibu capek Pak! Sana suruh Attar aja! Emang bapak sama anak sama aja. Bisanya cuman nambahin beban. Kenapa sih pake jadi duda segala itu anak kesayanganmu! Nggak kayak adik-adiknya, liat tuh bahagia semua. Mantumu itu juga ngapain pake minta cerai! Nyusahin aja. Bikin malu! Udah duda, nggak punya kerjaan tetap sendiri, sekarang ribet ngurus anaknya. Hah!”
Aku bisa mendengar itu dengan jelas. Kalian tahu, itulah yang membuatku akhirnya pergi di tahun kesembilan kami. Ya, aku tidak mau putraku tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Aku mau, Aidan, putraku hidup layak tanpa terluka jiwanya akibat ketidakwarasan sang nenek.
“Dek, maaf. Aku tutup dulu ya, bapak kayaknya mecahin piring deh. Bentar ya.”
Aku hanya menggumamkan kata ‘iya’. Ia mengucap salam dan kujawab sebelum bunyi nada terputusnya sambungan telpon terdengar.
Mood-ku yang hampir kembali mendadak kembali turun. Aku harus segera bertindak agar tak semakin menjadi-jadi. Ku nyalakan lilin aromaterapi dan membawanya ke kamar mandi. Berendam sejenak sebelum menyambut putraku pulang, sepertinya bukan hal yang buruk. Lagi pula, aku tidak mau Mas Attar melihatku sekacau ini. Aku harus terlihat jauh lebih baik dari kondisiku saat masih menjadi istrinya.
Sejujurnya, kami masih bisa rujuk. Keputusan itu belum final. Namun, ia sama sekali tak menolak saat aku menggugat cerai meski wajahnya tak dapat menyembunyikan keterkejutan. Ia juga tak pernah memintaku kembali. Tak pernah membicarakan tentang alasanku meminta perpisahan ini. Mungkin karena ia sudah sangat paham apa alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
Roman d'amourKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...