Nika POV
Ponsel, aman. Kacamata, aman. Dompet? Ada. Semua aman, tapi kenapa sepertinya ada yang kurang ya? Aku masih meningat-ingat apa yang kurang dari penampilanku hari ini. Semua sepertinya baik-baik saja. Aku juga membawa helm. Dan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hampir aku menjalankan motorku saat ponselku berdering. Ada nomor tak dikenal menelponku. Biasanya dari wali muridku.
"Selamat Siang, dengan Miss Nika. Ada yang bisa kami bantu?"
"Stay there, jangan ke mana-mana."
"Maaf, dengan siapa ini?"
Si pelaku nyatanya sudah memunculkan dirinya, tanpa rasa bersalah dia mengambil helm entah punya siapa di sebelah dan mengusirku untuk mundur.
"Mundur, aku yang bawa."
"Mas Ibaz kesurupan?"
Dia menaikkan satu alisnya, menatapku tak suka. "Eh, maaf, Yang Mulia, mabuk?"
"Astagfirullahal adzim. Suudzon aja. Ayo naik, katanya mau ketemu dokter Abrar?"
Mataku mendadak berbinar. Aku senang dia mau memabntuku.
"Beneran? Mas Ibaz bantuin aku? Beneran? Bener?'
Aku tanpa sadar memegang tangannya seperti ketika kebiasaanku saat senang. Mata pria itu menatapku tajam, Aku segera tersadar.
"Maaf, Yang Mulia."
"Cepet naik."
Tangannya membuka poststep, memastikanku tak kerepotan naik.
"Nggak usah GR ya, aku kebiasan begini karena dua adikku dan ibuku suka rewel kalau naik motor tapi poststepnya nggak dibukain dulu."
Aku mengangguk. "Yang Mulia, tapi maaf. Apa kita harus boncengan? Saya... ng... kita bukan mahram. Maaf."
"Ini darurat. Kamu mau tanggung jawab kalau nanti rumah tangga Abrar dan Syeina kandas. Kamu mau digugat di akhirat?"
"Astagfirullah, naudzubillah, enggak Yang Mulia."
Aku jelas takut. Keutuhan rumah tangga temanku sedang terancam.
"Dan ini tasmu. Teledor banget sih, heran."
"Astagfirullah, iya, Yang Mulia, maaf. Saya lupa."
Taka da kata lagi terucap. Aku naik motorku, menyamping, sementara ada jeda tasku di tengah.
"Aku nggak nyuruh kamu pegangan tapi kalau jatuh aku nggak tanggung jawab. Jasku bisa kamu pegang sebgaai option."
Aku hanya mengangguk. Motor putih kesayanganku melaju membelah jalan. Aku pikir anak geng motor seperti dia tidak bisa mengendarai motor pelan-pelan, ternyata ia bisa mematahkan pemikiranku. Saat tiba di tikungan setelah lampur merah kedua, ada seorang ibu-ibu yang keluar dari gang tanpa melihat ke kanan, sehingga hampir saja Mas Ibaz menabraknya. Beruntung ia sangat cekatan.
"Kamu kalau keluar dari gang, jangan kayak gitu ya. Liat dulu kanan kiri, jangan main nyelonong aja."
"Iya, Yang Mulia."
"Kalau mau belok juga, jangan mendadak pasang lampu sentnya. Perkirakan jaraknya cukup tepat saat mencet tombol lampu. Biar yang di belakang nggak kaget. Tapi juga jangan terlalu jauh, biar yang di belakang nggak ngira kamu lupa matiin lampunya."
"Baik, Yang Mulia."
Aku tidak tahu harus merespon apa selain mengucap hal itu. Jangan heran, orang ini namanya Arsy Bazla Zahid. Dia tipikal anak bisnismen pada umumnya yang hidupmya sudah diatur orang tua menjadi pewaris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...