“Assalamalaikum, calon suami!”
“Shalom.”
Suara berat itu terdengar menjawab salamku. Seperti biasa, aku mengusili rekan kerjaku yang bernama Nicholas itu setiap pagi.
“Koh Nick, udah ada planning akhir tahun belum?”
Koh Nick menatapku sekilas. “Ngapain nanya? Mau nawarin EO abangmu lagi?”
“Enggak sih. Aku mau nyoba bikin WO.”
“WO? Wedding Organizer?”
“Iya.” Aku mengangguk mantap. Ucapanku disambut kerutan di dahi Koh Nick.
“Terus lu nyuruh gue buat nikah akhir tahun ini biar jadi pelanggan pertama lu?”
Aku meringis, memamerkan gigi putih yang hampir rata milikku. Ya, aku katakana hampir karena ada satu gigi taringku terlihat lebih menonjol tak sesuai barisan.
“Lima puluh persen bener sih tebakan Koko. Tapi, aku punya plan ke dua kok buat menyukseskan bisnis baruku ini.”
Koh Nick sudah terlanjur hanyut pada pekerjaannya. Aku mencebik kesal, aku pikir dia akan merespon ucapanku. Setidaknya bertanya apa rencana keduaku, tetapi nihil. Akhirnya aku bergegas pergi ke bilik duniawiku. Tempat di mana aku harus menjalankan tugas sebagai asisten dari Miss Hanabiya Zahid, manajer accounting di Zahid Group sekaligus putri founder perusahaan ini, sementara Koh Nick tetap berada di ruangan yang harus aku lewati setiap kali ingin pergi keluar.
Sedikit cerita tentang ruang kerjaku. Ukuran total dari ruangan ini adalah 12 x 9 meter. Ada penyekat seperti dinding kaca yang bagian bawahnya disticker sehingga tidak bisa saling mengintip kecuali dengan keadaan berjinjit. Aku berbagi ruangan dengan 2 divisi di ruangan ini, satu accounting dan satu lagi audit yang memang bersinggungan dengan accounting. Sementara ruang divisi keuangan dan bendahara ada di seberang ruangan kami, terpisah koridor.
Aku menempati ruang 3,5 x 4,5 yang menyempil di paling ujung. Di antara ruanganku dengan ruang Miss Hana ada bilik Koh Nick yang sudah tiga tahun ini menjadi internal Auditor perusahaan. Ia adalah adik tingkat Miss Hana saat berkuliah di negeri Paman Sam. Aku sedikit lebih senior dari Koh Nick jika dihitung masa kerja di sini, meski secara umur dan ilmu, kastanya jauh lebih tinggi.
Dulu kami tidak sedekat ini. Dan sampai sekarangpun kami memang tidak pernah mengklaim bahwa kami adalah best friend forever atau semacamnya. Hanya saja, keadaan sering memaksa kami menikmati hari berdua, untuk lembur bersama di bilik masing-masing, tentunya.
Setidaknya, selama ada Koh Nick di kantor, aku tidak perlu resah dengan cerita-cerita mistis tak penting yang kadang membuatku kepikiran jika sedang di kantor sendiri saat karyawan lain sudah pulang.
Aku baru selesai mengecek pesan dari tautan aplikasi chat di laptop saat sebuah chat masuk.
Mr. Auditor
[Tadi rencana keduamu apa?]
Aku mengernyitkan dahi. Kuintip dia dengan melongokkan kepala ke batas stiker kaca. Koh Nick masih ada di mejanya dengan mata tertuju ke layar laptop. Segera kubalas pesannya.
Miss Queen Tapi Kaya
[Nggak penting, Ko.
Yook kerja, kerja]Mr. Auditor
[Jawab dulu.]Aku akhirnya mengetikkan kalimat yang cukup panjang.
Miss Queen Tapi Kaya
[Jadi gini, kalau kita mau buka
Warung makan, biasanya kan
Kita tes dulu rasanya,
Ya kan? Biar tahu layak jual
Atau tidak layak jual.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
Lãng mạnKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...