Suara alat medis terdengar agak tak mengenakkan telinga. Aku bisa dengan jelas mendengarnya. Kupalingkan wajahku ke arah kiri. Sekat itu tak rapat menutup. Ada sosok terbaring di samping kiriku dengan wajah bermasker oksigen.
“Ya Allah, Nduk. Kuat ya, Nduk. Kasian Arzan kalau kamu nggak bangun-bangun.”
Suara itu parau terdengar berseling isak dari seorang pria paruh baya. Aku bisa menebaknya. Apakah dia wanita bodoh yang menolongku?
Suara langkah terdengar. Ada dua atau tiga orang dewasa tergesa, semakin mendekat dan semakin dekat hingga sekat ruanganku tersibak.
“Juna.”
Aku bisa melihat kakak sulung, suami ibuku, dan Abrar, sahabatku di sana. Pasti informasi itu sudah sampai ke keluargaku.
“Ibu?”
Satu hal yang aku takutkan. Aku tidak mau ibu tahu aku kecelakaan. Aku tidak mau ibu drop lagi karena kekonyolanku.
“Ibu di rumah sama Mbak Arim, Mbak Tari dan Mas Bima. Ibu nggak tahu kalau kamu di sini.”
Aku lega. Seolah aliran darahku kembali berjalan sesuai hakikatnya. Kakakku mengecek kondisiku dan dia memukulku dengan ujung stetoskopnya tepat di dahi.
“Kalau mau mati, pecahin ini atau gores ini. Percuma lu minum dan nabrakin diri ke mobil. Nggak akan mati lu. Yang ada nyusahin orang!”
Kakakku, Yudhistira, yang paling aku takuti murka. Dia jelas tahu betul kondisiku yang bau alcohol. Ia pun pasti juga sudah dilapori sejawatnya yang menanganiku saat pertama masuk di IGD.
“Mas Yudhis, sudah. Juna kan baru sakit.”
Menyebalkan sekali tapi kali ini aku senang dibela oleh suami ibuku. Ia bahkan menepis tangan kakakku dengan keras dan melindungi tubuhku agar tak jadi bulan-bulanan kakakku itu.
“Jadi, siapa yang nolong kamu?”
Aku menunjuk ke sebelah. Abrar berinisiatif menemui orang di sebelahku begitu juga dengan dua orang lain.
“Pak, maaf, apa yang sakit di sini korban kecelakaan tadi?”
Pria berpeci itu mengangguk.
“Astagfirullah. Paklik? Siapa yang-“
Abrar terdengar mendadak panik saat mendapati sosok di sana.
“Brar, adikmu.”
“Astagfirullahal adzim, Aqilla?”
“Dokter Abrar kenal?”
“Ustadz Adnan ini Paklik saya, sepupunya abah. Dan Aqilla ini sepupu saya.”
Pria paruh baya itu meterdengar menangis.
“Kok bisa, Paklik?”
“Qadarullah, tadi Qilla, umi, sama Arzan pulang ngaji, bareng sama Umimu sama Abahmu. Mereka berhenti karena Umi keinget susunya Arzan habis, Qila keluar buat beli di minimarket, tiba-tiba dia lari ke tengah jalan menolong seseorang.”
Aku hanya bisa diam, menyesali semuanya. Gara-gara aku, Aqila terluka parah. Padahal, dia tak berdosa. Gara-gara pendosa hina sepertiku, dia meregang nyawa. Aku benar-benar benci pada diriku sendiri. Andai dulu aku tidak merengek meminta pergi ke pasar malam bersama Romo dan Ibu, Romo tidak akan meninggal karena mobil yang kami tumpangi tertabrak truk. Andai dulu aku tidak setolol itu, hidupku pasti akan sangat bahagia. Ibu tidak perlu menikah lagi dengan laki-laki itu. Ibu tidak perlu menanggung beratnya beban menjadi single parent selama lima belas tahun.
Ibu tidak perlu menjajakan batiknya dari rumah ke rumah, toko ke toko, demi mencari sesuap nasi untuk kami bertiga. Semua ini karena ketololanku. Semua ini karena kebodohanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
Storie d'amoreKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...