Hello Little Friends (pt2)

494 54 3
                                    

Subuh, aku terbangun. Ada boneka Aluna mengelilingiku. Aku ingin segera pulang tetapi rasanya tidak etis, sudah menumpang tanpa membantu apapun. Lagi pula, kenapa juga bundaku tidak membangunkanku semalam?

Akhirnya, aku memutuskan untuk membantu mama menyapu dan beres-beres rumah, meski belum ada tanda kehidupan dari lantai atas. Aku membereskan dapur, memastikan semua tertata sesuai tempatnya, sampai aku dengar ada dua orang masuk ke dalam rumah.

Rashdan ternyata sudah bangun. Ia sudah berbaju koko dan bersarung, bersama ayahnya jamaah di masjid.

“Aduh, duh, rajinnya anak papa. Mama belum bangun, Ta?”

“Belum Pa.”

“Oh, lagi nggak salat sih. Jadi tadi nggak papa bangunin. Shinta, papa boleh minta teh anget? Kasih jeruk nipis dikit.”

Aku mengacungkan jempol. Kami memang sedekat itu, karena sudah kenal sejak bayi. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

“Mas, kenapa tadi malem aku nggak dibangunin?” tanyaku pada Rashdan yang mengambil gelas dan menuang susu cokelat ke dalamnya.

“Udah dibangunin tapi kamunya tidur kayak mati. Ya udah akhirnya sama Bunda dititipin sini. Mau aku anterin pulang tapi katanya nggak usah. Mungkin bunda sama ayahmu lagi ngelanjutin proyek adek baru buat kamu, jadi kesempatan, kamu dititipin di sini.”

“Heeeh! Jangan ngadi-ngadi ya! Selamanya aku akan tetep jadi anak tunggal!”

Rashdan terkekeh.

Dua orang lain muncul dari tangga. Papa dan mama, berangkulan menuruni tangga.

“Tehnya sudah siap, Pa. Mama mau susu hangat?” tawarku.

Anggukannya menjadi pemicu gerak motor tanganku untuk menuangkan susu dan air panas ke cangkir yang sudah kusiapkan.

“Dan, itu barangmu sudah dipack semua?”

“Udah, Ma.”

Aku menarik kursi di samping Rashdan.

“Ma, aku boleh ikut Mas Ras ke Aussie nggak?” tanyaku.

“Kamu di sini aja nemenin mama sama papa. Lagian, ayah bundamu pasti nggak ngijinin. Besok kalau kami bica cuti, kita baru nengokin dia ke sana.”

Aku mengerucutkan bibir.

“Besok kalau kamu nikah, aku bakal pulang. Tenang aja.”

Rashdan menepuk-nepuk kepalaku bak tengah menenangkan kucing.

“Ya iyalah Mas harus pulang. Masak nikahan pengantin cowoknya nggak ada.”

Celetukanku membuat Rashdan terkekeh. Sementara itu dua orang di depan kami tersedak mendengar guyonan ini.

“Mama kenapa keselek?”

Aku menyodorkan tisu. Mama Aca menatap kami bergantian.

“Kalian?”

“Mama nggak mau punya mantu kayak aku?”  tanyaku santai.

Kedua orangtua Rashdan saling pandang. Keseruan ini terganggu saat suara Bundaku terdengar memanggil.

“Shinta! Ada tamu.”

***


Setiap orang berhak bahagia. Bukankah begitu? Namun, ketika sumber kebahagiaan itu semu, pantaskah kita perjuangkan?

Babe, sini dulu.”

“Nanti aja, ini masih sore.”

Babe.”

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang