Tulus 6

246 19 1
                                    

Matahari tak menampakkan senyumnya di luar sana. Rintik hujan sempat turun pagi tadi. Hawa dingin cukup menusuk meski sudah pukul sepuluh lewat.

Tiga orang laki-laki duduk mengitari sebuah meja bundar dengan beberapa sajian itu.

"Bang, kamu yakin dengan keputusanmu?"

Ray menatap Gana lekat. Keningnya berkerut, menunjukkan betapa seriusnya dia. Gana mengangguk.

Di seberang Gana, ada Nohan yang baru menyesap lattenya.

"Aku udah bicara semua ke Bang Nohan, Gehna, ayah dan ibu."

"But why, Bang? Kalian udah tujuh tahun bersama."

Gana menyipitkan mata, membalas tatapan Ray. "Kenapa memangnya? Kamu nggak suka dengan keputusanku? Kamu nggak suka nikah sama Nora?"

"Bukan gitu tapi kan... ini nggak masuk akal. Tujuh tahun itu kalau anak sekolah udah rapotan empat belas kali, Bang. Apalagi kalau masih sistem caturwulan, bisa dua puluh satu kali terima rapot."

Nohan dan Gana tertawa. "Emang kamu pernah ngerasain caturwulan?"

"Enggak sih, itu Pakde Nohan yang ngerasain. Jaman Mbah Harto."

Nohan tertawa semakin keras. Ia tak mengira akan bisa duduk bersama dengan kakak ipar dan calon adik iparnya seperti ini.

"Kamu sendiri kan pernah merasakan, gimana hati bisa berbolak-balik. Dulu Nora juga nggak tertarik sama kamu tapi sekarang buktinya dia bucin sama kamu. Sama halnya denganku. Selama aku menghilang, ada banyak hal terjadi. Dan, pengorbanan mertuaku menjadi awal dari segalanya. Mertuaku sampai menderita luka bakar parah demi menyelamatkanku."

"Aku nggak ngira kamu bakal jadi menantu Pak Didit." Nohan menyela.

"Sama, Bang. Aku pun waktu itu masih linglung. Waktu melihat Ray dan Nora terakhir kali, di saat itu juga aku menyerah. Aku bahkan sengaja tidak bergerak agar api membakarku di sana. Tapi, Bapak menggendongku dan membawaku pergi dari sana tepat sebelum suara ledakan itu terdengar. Aku melihat masih ada satu orang di sana. Penculik yang dipukul oleh bapak sebelum bapak menolongku. Mungkin dia yang dikira aku."

"Kenapa abang bisa berpikir ganti identitas?"

Gana menyerukkan rambutnya. Ia menata posisi duduknya sebelum menjawab.

"Aku punya banyak alasan. Salah satunya, aku ingin Nora benar-benar bahagia. Perjuanganmu untuk Nora luar biasa, meski mungkin interval waktunya belum sepanjang aku. Aku yakin kamu layak menjadi pendamping Nora. Kalian berasal dari keluarga yang setara. Aku mau dia bahagia. Itulah kenapa akan lebih baik Gana mati bersama masa lalunya. Dan, aku kembali hidup dengan identitasku yang baru."

"Bang, abang nggak perlu berkorban seperti ini." Ray merespon cepat.

"Aku sudah mencoba kembali, menerima tawaranmu untuk kembali bersama Nora tapi semuanya sudah berbeda. Aku tidak mungkin lepas tanggung jawab pada Dewi. Dia mengandung anakku. Kalaupun kamu bisa berkorban untuk Nora dan membiarkanku kembali pada Nora, Dewi tidak berhak terluka karena semua ini."

Gana tidak menyadari istrinya ternyata ada di sisi kanan, mendengarkan obrolan mereka.

Nohanlah yang menyadari keberadaan Dewi.

"Gan, istrimu."

Dewi sudah berkaca-kaca. Kecurigaannya selama ini benar. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya. Dewi segera berbalik pergi.

"Sayang!" panggil Gana.

Wanita hamil itu berjalan cepat meski susah payah karena dua bayi di kandungannya sudah sangat besar dan membuatnya kesusahan berjalan.

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang