Namaku Gehna, biasa dipanggil Ge atau Ena. Aku sulung yang batal jadi sulung. Ya, harusnya aku menjadi anak pertama tetapi Allah begitu baik sehingga mengirimkan Mas Gana di keluarga kecil kami. Aku pun batal menjadi anak sulung. Aku punya dua adik yang masih SMP.Seingatku, dulu waktu aku berumur empat tahun, ada seorang anak laki-laki dibawa oleh ayah pulang. Ibu datang memeluknya sembari menangis, begitu juga dengan eyang uti atau nenekku. Aku tak paham yang membuat mereka menangis saat itu, tapi yang aku tahu hidupku semakin bahagia semenjak dia ada di dalam keluarga kami.
Namanya Gegana, kakak sepupu kesayanganku yang kehilangan ibunya sejak ia lahir dan ayahnya meninggal ketika ia berusia sepuluh tahun. Kini aku paham kenapa dulu ayah dan ibu menangisi kedatangannya. Meski sepupu, rasa saudara kandung. Ibu kami kakak adik, ayah kami kembar. Lengkap sudah bukan kedekatan kami? Kakek nenek kami sama, baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu.
“Dek.”
Panggilan itu membuatku menoleh. “Dalem, Mas, ada apa?”
Kepala Mas Gana terlihat di celah pintu. Ia kemudian membuka pintu kamarku lebar sebelum masuk.
“Ini apa?”
Aku mengamati ponsel milik kakakku. Ada wajahku tertangkap kamera dengan posisi jalan bergandengan dengan seorang pria.
“Astagfirullahaladzim. Ini kok….” Aku tak bisa menyambung kalimatku lebih panjang.
“Sedekat apa kamu sama Bang Nohan?”
Aku jelas menggeleng. “Mas, aku baru ketemu secara personal ya kemarin itu. Itu pun kami Cuma say hi aja. Ini posisi pas kemarin Mas Gana udah duluan sama Ibu terus aku ketabrak sama orang yang di VIP corner itu pas mau keluar venue, jadi Mas Han bantuin aku keluar dari sana.”
Mas Gana menatapku dengan seksama. “Bener Cuma itu?”
“Iya Mas, beneran. Lagian, dia kan calon kakak iparnya Mas. Nggak mungkin akum au macem-macem.”
Mas Gana mengembuskan nafas berat. “Ya sudah, kalau sudh dengar versimu, setidaknya nanti kalau ayah sama ibu tanya, aku bisa jawab.”
Aku melihat kelegaan di wajah Mas Gana. Mungkin, ia pikir aku tertarik dan sengaja mendekati Mas Nohan seperti gadis-gadis lain. Juju raku sedikit kesal karena dituduh seperti itu meski tidak secara langsung.
“Mas… Mas kapan mau lamaran?”
“Kenapa memang Cil? Kamu mau ngelangkahin Mas?”
Aku menggeleng. “Bukan gitu. Kayaknya Kak Nora udah nggak sabar pengen dihalalin.”
Tangan kakakku mengusap puncak kepalaku yang masi tertutup mukena. “Doanya ya.”
“Buruan Mas. Setelah nikah kan lega. Udah selesai perjuangannya.”
Mas Gana terkekeh. “Emang nikah itu target capaian hidup? Habis nikah selesai, gitu?”
Aku mengangguk dan itu membuat kakakku terbahak. Dimana letak salahku? Bukankah menikah memang pencapaian akhir setiap orang? Buktinya, setiap ada lajang yang terdeteksi belum menikah mereka akan ditanya kapan menikah bukan kapan kuliah atau kapan kerja?
“Lalita Gehna, perempuan secantik permata kesayangan Mas Gana. Pernikahan itu bukan ujung kehidupan. Pernikahan justru jenjang baru di mana kehidupan ada di fase terberatnya. Yang Awalnya hidup sendiri, bergulat dengan masalah keluarga sendiri, menjadi hidup berdua dengan orang asing yang menyatakan komitmen untuk menjalani hidup bersama. Menyatukan dua keluarga, dua dunia.”
“Ih, menikah itu kan Cuma anatra dua orang yang saling cinta.”
“Dasar bocil Disney. Menikah bukan seperti didongeng. Modal cinta saja tak cukup. Modal harta saja juga tak cukup. Modal restu menjadi salah satu yang paling penting. Lihatlah aku dan Nora. Kami sudah sekian lama bersama, maslaah cinta, visi, misi, pandangan hidup, sudah searah. Harta? Ya, kami sepakat untuk bertumbuh bersama. Tabungan kami cukup untuk beberapa tahun ke depan tapi… ada satu hal pokok yang belum kami punya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...