Iftar After Takjil War 4

67 13 0
                                    

Nick POV

"Nicho, anak papa."

Aku mendengarnya lagi, suara itu begitu jelas di telingaku.

"Nak."

Mataku terbuka, tetapi aku sadar jika aku tengah tidur.

"Kamu bahagia kan di sana? Mamimu baik juga?"

"Pa ... papa pulang?"

Senyumannya, suaranya, semuanya terasa nyata.

"Papa selalu mendapat kiriman doa dari anak baik yang mengatakan jika dia menggantikan tugasmu mengirimkan doa untuk papa. Papa bahagia di sini."

"Anak baik? Siapa Pa? Ko Ricky? Tante Rowena?"

"Anak baik yang selalu bersamamu. Ucapkan terima kasih dari papa untuknya."

Aku merasakan pelukan hangat itu. Papa terlihat sangat bahagia, jauh lebih bahagia dari sebelumnya.

"Pa... maaf, aku nggak bisa doain papa."

Senyum itu terlihat sempurna. "Tetap jadilah Nicho yang santun dan baik hati. Bahagiakanlah mamimu, juga adik-adikmu, juga ayah sambungmu. Baba dan Oma juga. Terus berbakti pada mereka. Cukup itu saja. Jangan lupa dermakan harta dan waktumu untuk kemanusiaan."

Tangan itu terasa seperti mengelus kepalaku. Baru saja aku mau menyentuhnya tetapi mataku terbuka, benar-benar terbuka tak seperti tadi. 

"Papa."

Aku segera bangkit dari tidurku dan mencari keberadaan ayahku. Namun, nihil. Ya, aku bermimpi lagi tentang papa. Apakah karena aku jarang pergi ke makamnya akhir-akhir ini? Mimpi itu membuatku tak bisa tidur kembali. 

Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Sayup-sayup aku mendengar suara dari masjid terdekat, masih ada orang tadarus malam ini. Ya, aku sudah terbiasa dengan hal itu, sepanjang Ramadhan, lantunan ayat suci itu terus terdengar. Hanya orangnya saja yang berganti-ganti tetapi seperti sudah terjadwal.

Satu jam lagi, pasti anak-anak kampung akan berkeliling membangunkan sahur. Aku pun memutuskan untuk tidak tidur lagi. Kali ini, aku ingin menyiapkan sahur untuk Oma. Memang, aku tak berkewajiban puasa tetapi sudah seminggu ini aku menemani Oma puasa. Ini bukan yang pertama karena hampir tiap Ramadhan aku diam-diam ikut menunaikannya puasa karena beberapa saudaraku adalah muslim taat. 

Aku sendiri, masih belum menemukan kemana rah dan tujuan hidupku. Kuambil hoodieku sebelum menyelinap keluar. Oma masih terlelap di kamarnya. Kukeluarkan motor perlahan dan baru menyalakannya di ujung gang.

Kegabutanku dini hari ini ternyata tak semendung hari-hari yang lalu. Ini bukan pertama kalinya aku keluar malam, tetapi ternyata hawa-hawa Ramadhan begitu menentramkan. Biasanya, jam segini, tidak ada orang berlalu lalang. Hanya ada mini market 24 jam dan angkringan 24 jam saja yang buka, tetapi malam ini, dini hari rasa siang hari. Banyak orang berkumpul di taman kota, masjid, musala, dan sudut-sudut kota, untuk menyambut waktu sahur.

Aku melihat penjual wedhang jahe di pinggir, Oma pasti suka. Kuparkirkan motorku di samping lapak si penjual. Aku mengantri di sana sembari mengorder satu untuk diriku sendiri. Sembari menikmati jalanan dini hari ini, aku menyelonjorkan kaki di atas tikar yang digelar oleh si penjual. DI sebelah lapak di mana aku menikmati wedhang jahe, ada penjual angkringan yang cukup ramai didatangi anak muda.

Beberapa dari mereka terlihat seperti santri. Sarung, baju koko, dan peci, menjadi identitas diri mereka.

"Gus, ndak nyangka saya, ternyata serame itu ya majelisnya. Tak pikir, kita belum seterkenal ini di sini."

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang