Hai, namaku Dira. Aku dikenal sebagai si paling 100 persen atau full charged girl. Ya, tubuhku memang terlalu senang bergerak ke sana ke mari, bibirku pun begitu senang bersuara meski sekedar bergumam atau menyapa semua orang disekitarku.
“Dira! Buruan ayo! Keburu panas nih, ngapain sih pake ngobrol ama kucing?”
“Bentar, ini kasian si Meng nggak punya temen. Ditinggalin sama Boy.”
Gia, temanku hanya bisa mengelus dada. “Ya Allah, ngidam apa sih mamamu dulu? Nggak kucinglah, pohonlah, anginlah, semua kamu ajak ngomong.”
Aku meringis. “Ya kan sesuai namaku, Adira Mabbina Ceria, cewek tangguh yang penuh suka cita dan ceria.”
“Iya, iya, buruan ayo, nanti kita keburu telat dan disemprot sama kating.”
Aku melambaikan tangan pada kucing berwarna putih yang kunamai Si Meng itu. “Dadah Meng, nanti ngobrol lagi ya!”
Gia menyeretku lebih keras, hampir saja aku terjatuh karena tak bisa mengikuti gerak langkahnya. Sembari berjalan menuju secretariat BEM, aku menyapa semua orang yang kutemui, seperti biasanya.
“Hai, Kak. Siang, Pak Amin. Halo Kak Dinda. Hei, Gladis! Hai, Kak Barra!”
Gia menggeram. “Ra, udah ih. Kamu itu nggak kapok apa dijulidin kating? Dikatain SKSD, dikatain cewek murah.”
Aku mencoba mengunci bibirku rapat, tetapi tetap saja settingan pabrikku begitu.
“Adira!” Sebuah teriakan menyebutkan namaku membuat kepalaku menoleh tanpa diminta. Salah satu kakak tingkat, pelatih Taekwondo yang dulu seniorku di SMA melambaikan tangan ke arahku.
“Hai, Kak.” Aku menunggunya mendekat, ia berlari kecil ke arahku sembari membawa sesuatu di tangannya.
“Dira, nih, for free.”
Mataku membulat sempurna saat melihat benda apa itu. Empat buah tiket Sheila on 7, band favorit mamaku.
“Ini buat aku?” tanyaku memastikan.
“Iya, ajak temenmu yang lain. Kebetulan aku ikut ngurusin konsernya jadi dapet ini free. Kamu suka Sheila kan?”
Aku meringis, sejujurnya bukan aku, tapi mama dan Mas Dean. Dua orang paling berharga di hidupku.
“Ini beneran gratis, Kak?”
“Iya, spesial buat kamu.”
Gia berdehem. “Ehem, maaf Kak Ikko, kami ditunggu Kak Ben di sekre. Maaf ya.”
Aku mau tidak mau mengikuti langkah sahabatku sembari berteriak terima kasih pada Ikko setelah mengambil tiket yang ia berikan. “Makasih Kak Ikko! Kak Ikko baik deh!”
Ikko membalas ucapanku dengan anggukan dan lambaikan tangan singkat. Setelah itu, aku didorong Gia masuk ke dalam kantor secretariat BEM.
Di dalam kantor, tatapan elang seorang laki-laki membuatku sedikit bergidik ngeri. “Jam satu lebih lima puluh Sembilan menit empat puluh satu detik.”
Suara beratnya terdengar, membuat Gia segera bersuara. “Masih ada Sembilan belas detik lagi kan, Bang.”
Sahabatku itu meringis. Tak biasanya Gia yang kalem berperilaku seperti itu. Ia hanya melakukan hal-hal aneh bin ajaib layaknya perempuan normal di depan Bang Ben.
“Duduk,” titah Bang Ben. Gia segera duduk persis di seberang meja Bang Ben. Aku memilih untuk menjaga jarak, aura Bang Ben terlalu gelap, dan aku tidak suka bau asap rokok yang melekat di tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...