Hate You 3

252 25 3
                                    

 

Keysha hari ini datang lebih pagi dari sebelumnya untuk menata ruangan. Datang tiga puluh menit sebelum jam masuk kantor adalah kebiasaannya di Singapur dulu. Ya, itu adalah salah satu wujud dari tingginya etos kerja seorang karyawan.

“Loh, Mbak Keysha sudah datang?”

Petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai terkejut. Keysha tersenyum.

“Iya, Pak.”

“Maaf ya Mbak, baru selesai saya pel. Masih agak licin. Biasanya Pak Juna kalau datang ya jam tujuh lebih lima menit. Di sini yang paling rajin itu Pak Baim. Beliau pasti datang jam-jam segini juga.”

“Oh ya? Rajin ya?”

“Iya, Mbak. Beliau itu yang paling rajin di sini. Datang paling pagi, pulang paling akhir. Meski kadang selengekan tapi beliau tekun. Sambil kuliah, kerja, luar biasa.”

Keysha mengangguk-angguk. Ia melipir untuk berjalan ke arah mejanya, agar tak banyak menginjak lantai yang masih basah. Dari balik jendela, ia bisa melihat sosok yang tengah parkir di bawah sana. Benar kata Pak Mul, Baim sudah datang tak lama setelah Keysha sampai.

Aneh memang, hampir taka da yang berubah dari sosok Baim. Entah dia yang sudah tua terlebih dulu atau memang wajahnya tak menua sejak SMA. Hanya sedikit lebih tinggi dan kurus saja. Keysha tanpa sadar mengamati gerak-geriknya.

Pria itu melepas helm dan meninggalkan di motor sport hitam kesayangannya. Beberapa kali di grup chat, ia mendengar jika Nacitta pernah mengomel akibat sang suami turun balapan beberapa bulan lalu. Nika pun bercerita jika Bazla kecelakaan karena balapan liar bersama Baim, dua minggu sebelum akhirnya mereka saling jujur atas rasa yang tumbuh di antara mereka.

Keysha mendadak berpikir. Kenapa sih setua ini masih ikut balapan? Bukannya nikah kek, jadi bapak yang baik, eh malah balapan. Kurang kerjaan banget.

Pikiran-pikiran itu berkecamuk di benaknya. Sembari menata ruang kerjanya sesuai keinginan, Keysha sesekali bermonolog.

“Kayaknya bagusan di situ ya?” ucapnya sebelum menggeser cabinet berisi dokumen perusahaan.

Perlahan ia mendorong cabinet itu. Pak Mul sudah berpindah, berganti ruangan sehiingga tak ia mintai bantuan. Sedikit demi sedikit lemari setengah kaca itu bergeser. Hingga saat sudah dekat, Keysha mendorongnya terlalu keras, menyebabkan ia justru membuat lemari itu bergerak maju mundur bukan meyamping. Hampir saja ia tertimpa cabinet di sana.

“Astagfirullah!”

Satu tangan orang melindungi tubuh Keysha dari jatuhnya beberaa file di dalam cabinet. Aroma parfum maskulin tercium. Hangat suhu tubuh seseorang terasa, menempel di tubuhnya. Keysha mendongak.

Wajah menyebalkan itu begitu dekat.

“Ceroboh.” Satu kata yang terdengar menyebalkan terucap dari laki-laki yang tadi masih di bawah itu.

Dokumen yang dibawa si pria tercecer karena reflek saat menolong Keysha, ia melemparnya ke meja tetapi meleset.

“Ngapain Pak Ibrahim ke sini?”

“Terima kasih Mas Baim, sudah nolongin aku.” Baim justru mengajari Keysha. Gadis itu jelas gengsi mengatakannya.

“Aku nggak minta ditolongin.”

“Dan berakhir seperti itu?” Baim menunjuk kea rah pinggir lemari sebelah kanan di mana ada cicak kering yang mati terjepit entah sejak kapan.

Keysha paling tidak suka dengan hewan-hewan semacam itu. Ia jelas reflek menyembunyikan dirinya di balik punggung Baim.

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang