Namanya Rashdan, sosoknya tinggi besar dengan kulit kecoklatan. Dia temanku sejak kecil, tetapi karena saat SMP aku pindah sekolah, hubungan baik kami merenggang. Mungkin dia lupa denganku atau malu menyapaku lebih dulu. Setiap kali aku dekati, ia bergegas pergi. Itulah yang terjadi selama tiga tahun kami di SMA. Hingga lulus dua tahun lalu, kami juga tetap menjadi orang asing meski aku dan keluarganya kembali dekat seperti dulu, karena rumah kami bersebelahan.“Shinta!”
Aku mendengar suara wanita yang tengah berdiri di samping Rashdan menyebut namaku.
“Mama Aca, Mas Ras!” sapaku.
“Baru pulang kuliah?”
Aku mengangguk. Seperti biasa aku akan berbasa-basi sedikit.
“Onty Cinta!”
Bocah kecil berkuncir dua yang tengah di pangku sang paman sembari makan itu melambaikan tangan ke arahku.
“Alunananana,” sapaku padanya.
Ia memamerkan deretan gigi putihnya.
“Kamu naik ojek?”
“Iya, Ma, masih sakit kakinya. Belum berani naik motor sendiri.”
Sosok pria dewasa lain muncul. “Kenapa nggak minta dianter sama Rashdan? Dia nganggur di rumah.”
Aku melirik sosok yang tengah menyuapi keponakannya itu. “Nanti Mas Rasnya repot malahan.”
Rashdan memang jarang berbicara. Hal itu yang membuat dirinya terkesan sangar dan garang, padahal dulu ia tak seperti itu. Entah kenapa, Rashdan bisa berubah pesat, padahal hanya tiga tahun kami tidak bertemu. Mungkin pubertas membunuh keceriaannya?
“Luna mamam apa?”
“Mam maltabak cokat. Onty mau mam?”
Aku duduk di sampingnya, menyelonjorkan kakiku yang masih diperban akibat kecelakaan dua minggu lalu. Ya, aku mengalami kecelakaan pasca terserempet mobil selingkuhan kekasihku.
Lima tahun lalu, aku memulai hubungan dengan seorang kakak kelasku bernama Ramadiansyah. Kini ia menjadi taruna di akademi. Dulu, ia adalah ketua paskib, ekskul yang aku ikuti. Dan, semua mengalir begitu saja. Kami saling tertarik sehingga aku mengiyakan ajakannya ketika ia menyatakan cintanya padaku.
Semuanya berjalan baik saja. Meski tidak satu dua kali aku mendengar banyak orang mengincar kekasihku yang tampan dan berlatar belakang keluarga berada. Ayahnya, mantan orang nomor satu di kota ini selama dua periode. Kini, beliau kembali menduduki kursi di tingkat pusat. Jelas kan berapa banyak sainganku?
Aku bukanlah orang ambisius. Aku pun tak peduli latar belakangnya, selama ia baik dan satu rasa, kenapa tidak. Namun, nyatanya dunia tidak sesimple bayanganku. Orang baik, belum tentu serratus persen baik. Itulah yang akhirnya aku tahu.
Saat itu, aku yang baru lulus SMA, berniat mengikuti tes di kota yang sama dengan kota di mana Rama menjadi taruna. Kejutanku di sana justru membuat aku terkejut sendiri karena saat itu aku memergoki Rama tengah menikmati waktu pesiarnya bersama seorang gadis yang aku tahu adalah kakak kelasku saat SMA. Teman sekelas Rama dulu.
Jujur aku kecewa dan itu pertama kalinya kami berkonflik. Ia menjelaskan padaku panjang lebar, hingga akhirnya hubungan kami tetap pada ikatannya. Namun, ketika kepercayaan mulai cedera, tentu hari-hari tak mudah lagi. Terlebih LDR dengan terbatasnya waktu untuk berkomunikasi membuat semuanya terasa hambar.
Semua itu berpuncak pada kejadian gila dua minggu lalu, saat Rama pulang dan menemuiku. Kami berkencan seperti biasa, tetapi sosok wanita itu muncul mengganggu. Wanita yang sama dengan yang aku temui di Semarang dulu. Jelas terlihat dia tak suka denganku. Dia mulai menerorku, sampai kemarin akhirnya kami bertemu lagi tanpa sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomansaKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...