Memaknai hikmah dari sebuah kehilangan, jelas tak semudah membalik telapak tangan. Meski tangis tak lagi terdengar, bukan berarti lenyap duka yang menyelimutinya.
Sudah sebulan sejak Gana pergi, tetapi rasa kehilangan itu bukannya memudar, justru semakin dalam terasa.
"Morning, Nena."
Senyum lebar dari pria lajang yang setiap hari datang menemuinya, tak serta merta membuat Gehna ikut tersenyum. Wajahnya justru semakin murung.
Guru SD itu selalu bertingkah seolah ia tak melihat Nohan di hadapannya. Sejak kematian sang kakak, Nohan selalu muncul di rumahnya, setiap hari, pagi dan malam.
Ada saja alasannya. Entah karena menggantikan Gana mengantar jemput ibu Gehna ke pengajian, menemani ayah Gehna olahraga atau alasan-alasan lain yang menurut orangtua dan adik-adik Gehna, apa yang dilakukan Nohan sangatlah penting dan membantu mereka mengobati lara serta rindu pada Gana.
Namun, bagi Gehna, Nohan adalah orang yang patut dipersalahkan. Dia adalah orang yang membuat Gana bertaruh nyawa demi Nora.
"Bareng aja yuk?"
Ucapan Nohan tak ia gubris lagi dan lagi.
"Gehna, Mas Nohan lagi ngomong sama kamu. Kamu itu keterlaluan lama-lama. Ibu nggak suka kamu kayak gini."
Gehna yang awalnya ingin menyeruput teh hangatnya menjadi kehilangan selera.
"Percuma kamu nyalahin Mas Nohan. Semua yang sudah terjadi itu takdir Allah. Kalau kamu tidak bisa menerima takdir, itu artinya kamu tidak memaknai syahadatmu! Kamu tidak mengakui Tuhanmu! Kamu tidak benar-benar memeluk agamamu! Kamu tidak ada bedanya dengan manusia jaman jahiliyah. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah atas ijin Allah. Tingkahmu ini menunjukkan kalau kamu tidak benar-benar mengimani ke-Esaan Allah."
Gehna seperti dilecut. Benar apa yang ibunya katakan. Ia hanyalah anak dungu yang terlalu terpuruk akibat makhluk. Ia menggantungkan kebahagiaannya pada makhluk sehingga ia lupa akan Rabb nya.
Nohan mencoba membela Gehna. "Ibu... Nena sangat sayang ke Gana. Wajar kalau dia begitu."
"Nggak, Mas. Dia salah. Tidak ada yang dibenarkan dari kesedihan yang berlarut. Menentang takdir Allah adalah hal yang jelas-jelas perwujudan dari krisis keimanan."
Gehna menghapus airmatanya. Ia mengambil tas dan pergi setelah mengucap salam.
"Nena!" Nohan mencoba menghentikan gadis itu.
"Bu, saya pamit dulu ya. Nanti kalau Ibu jadi pergi arisan, ibu telpon saja."
Wanita itu mengangguk dan menerima salam takdzim dari Nohan. Membiarkan pemuda itu mengejar putrinya.
Sementara itu, Gehna sudah memakai sepatunya di teras.
"Nena, aku anter, ya?"
Mengendarai motor dalam kondisi seperti ini jelas tak nyaman. Tanpa kata Gehna akhirnya mengangguk.
Nohan segera membukakan pintu mobil untuk Gehna dan gadis itu masuk tanpa protes. Saat di mobil, Nohan mencoba melontarkan satu dua kalimat tetapi hanya dijawab dengan anggukan atau gelengan saja oleh Gehna.
Mata Gehna ke sana ke mari membunuh bosan. Andai masih ada Gana, setiap dimarahi oleh ibunya, Gehna pasti akan mengadu dan menangis sambil memeluk kakaknya itu.
"Kok ke sini?"
"Kamu mau ngadu dulu kan karena dimarahi ibu? Biar aku ijinkan kamu ke Mrs. Nika. Terlambat sedikit. Lagi pula hari ini hanya ekskul kan?"
Gehna tak tahu ternyata Nohan tahu detail jadwalnya.
Mobil itu terparkir di area pemakaman umum di mana jasad Gana terbaring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomantizmKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...