Tulus 2

153 20 4
                                    

Bayi berusia tiga bulan yang kini berada di gendonganku tertidur pulas. Ibunya, menangis di atas kasur.

"Kak... aku jahat sama Noah."

"Ish, jangan ngomong gitu. Ini semua hadiah dari Allah. Banyak orang yang harus nunggu bertahun-tahun untuk bisa hamil dan melahirkan. Lah kamu baru lahiran terus hamil lagi kok malah sedih. Mana pake musuhin suami lagi. Kasihan abangku stres karena kamu nggak mau ketemu dia setelah  tahu kamu hamil lagi."

Gehna menangis lagi. Hal ini sudah terjadi sebulan terakhir saat dia tahu jika dirinya hamil lagi pasca tiga bulan melahirkan. Entah karena abangku yang kurang ajar atau memang murni karena rejeki mereka sebaik itu.

"Noah malah nggak pernah rewel. Kalau udah kenyang dia bakal tidur. Paling nangis bentar karena haus atau popoknya basah. Kamu harusnya kasihan sama bayi di perutmu. Kalau dia merasa tidak diharapkan gimana? Nyesek tahu denger ibu kita bilang kalau kita nggak diharapkan."

Gehna kemudian diam meski masih sesegukan. Dia pasti berpikir.

"Permisi Mama Nena dan Bunda Nora. Lunch dulu yuk."

Lagi dan lagi, bocah itu menjadi seksi konsumsi. Dia tak segan duduk di lantai dan menjajar makanan di meja lipat dekat kakiku.

Setelah menyiapkan semuanya dia pergi ke sudut ruangan untuk mencuci tangan dan melepas jasnya.

"Sini, Noah biar sama aku."

Gehna tampak bersemangat saat mendapati apa yang tersaji di dekat ranjangnya.

"Makasih ya Uncle Ray."

Ray tersenyum sembari mengambil Noah dari tanganku.

"Pipimu tambah gembil aja," gemas Ray pada keponakanku.

Gehna meminta ijin untuk makan duluan. Akhirnya, dia mau makan dengan lahapnya. Aku sempat merekamnya untuk kulaporkan pada abang agar abang tak khawatir pada kondisi istrinya.

"Bunda makan juga dong."

Kalimat Ray membuatku mengambil kotak berisi salad di meja.

"Udah jadi ketemu kakek?" Pertanyaan itu kembali ditanyakan oleh Ray.

Aku menggeleng. "Kenapa sih maksa banget nyuruh aku ketemu kakek?"

Ray yang menciumi tangan keponakanku mengalihkan tatapnya. "Kamu kan kesayangan kakek. Apa salahnya buat nemuin beliau. Mau dianterin ke sana?"

"Aku bisa sendiri."

Ray sudah terbiasa dengan penolakanku. Ia sama sekali tak ambil pusing tentang hal itu.

"Ray, aku kenyang," ucapku kemudian sembari mengulurkan sesuap daging tanpa kulit dengan salad dressing padanya.

Ray menerima tanpa penolakan. Gehna tiba-tiba terkikik.

"Abang Noah, Abang Noah. Bunda Nora sama Ayah Ray lucu ya."

Aku melirik ke arah kakak ipar yang lima tahun lebih muda dariku.

"Ge, please, kasihan Noah kalau harus punya ayah angkat kayak dia."

Ray tertawa. "Aku sopirnya abang Noah dan Bunda Nora. Ayahnya kan tetap Ayah Gana."

Jawaban itu entah kenapa malah membuatku tidak suka. Ray memang setolol itu.

"Ih masak sopir sih."

Ray tetap beradu argumen dengan gaya selengekannya. Gehna sesekali tertawa mendengar lelucon Ray. Anak ini adalah pangeran yang menikmati peran menjadi badut.

*****

"Nora, cucuku."

Pria yang sangat mirip dengan ayah dan abangku itu terlihat sangat gembira saat melihatku.

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang