Denyut di kepala begitu nyeri tak kunjung hilang. Ray, terlalu memforsir dirinya selama hampir dua minggu ini. Ia bekerja tanpa henti demi mengusir kerinduannya pada Nora.
Ia berjuang mati-matian agar tak lagi mengingat Nora. Agar tangannya tak menyentuh layar ponsel dan mengirimkan pesan penuh cinta seperti yang ia lakukan selama setahun terakhir ini pada mantan tunangannya.
Darah mengucur dari hidungnya. Ray menyeka cairan merah itu dengan tangan karena tak sanggup meraih tisu.
Saat tengah berjuang diambang kesadarannya, Ray mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Hamizan pasti pelakunya, ia pikir begitu.
"Ray!"
Ternyata bukan. Ia justru mendengar suara Nora.
"Nora? Aku halusinasi?" Ray bermonolog.
Ia berusaha menegakkan kepalanya tetapi rasanya sangat berat.
Nora nekat berkendara ke Jogja demi menemui Ray dan berniat melabraknya tetapi yang ia temukan justru Ray tengah terkapar di meja kerja.
"Ray, kamu mimisan? Ya Allah kamu panas banget. Bang Ham! Bang Ham! Tolong!"
Hamizan yang tadi menjemput Nora di lobby urung masuk ke kamarnya. Ia berlari ke kamar sewa sang atasan.
"Bang tolong!"
Ray benar-benar tak punya daya. Ia seperti tengah bermimpi bertemu Nora.
"Ham, gue ngeliat Nora. Ham. Dia di sini Ham. Gue udah gila ya? Gue gila. Gue... gue nggak boleh kayak gini Ham. Gue nggak boleh kangen sama dia. Nora bakal marah kalau tahu gue masih kangen sama dia. Dia pasti udah bahagia sama hidupnya sekarang."
Ray meracau. Nora yang awalnya kesal dan ingin menampar Ray justru malah menangis sembari mendekap pemuda itu.
"Dasar bodoh. Rayhan bodoh!" Nora menangis sembari memeluk Ray yang masih dalam posisi duduk di kursi dengan tubuh lemas.
"Ham... Nora kayak asli Ham. Dia marahin gue Ham. Ham... kenapa gue kayak gini Ham? Gue gagal nepatin janji gue buat jauhin dia, ngelupain dia. Gue gagal."
"Bang, ayo bawa Ray ke rumah sakit. Cepetan!"
Hamizan pun menurut. Ia segera menggendong Ray di punggung dan Nora mengekor. Saat di mobil, Hamizan mengambil posisi di bangku sopir sementara Nora di belakang dengan Ray yang setengah sadar menggigil.
"Dia kenapa Bang? Kenapa bisa sampai sakit?"
"Dia sengaja nyiksa diri, Mbak. Dia nggak istirahat. Paling tidur bentar bangun kerja lagi. Dia sedang bertarung sama dirinya sendiri. Dia kangen banget sama Mbak."
Nora membelai pipi Ray yang merah karena panas tubuh yang tinggi.
"Mbak Nora juga kenapa tiba-tiba ke sini?"
"Aku udah ketemu sama Mas Gian dan istrinya. Mereka udah cerita semuanya."
"Apa?" Hamizan terkejut.
"Kenapa kamu juga ikut nutupin itu Bang?"
Hamizan melirik sedikit Nora dari spion tengah. "Maaf Mbak. Ini ide gila Ray. Dulu dia menyelidiki tentang penculikan dan kebakaran itu. Sampai akhirnya tiga bulan lalu kami nggak sengaja ketemu orang yang mirip sama Pak Gana. Dan Ray punya ide gila itu. Dia minta orang itu jadi Pak Gana, biar Mbak Nora senyum lagi. Biar Mbak Nora bahagia lagi. Dan akhirnya dia make a deal sama orang itu. Awalnya orang itu nolak karena dia sudah punya istri. Tapi, Ray membayar dengan sangat besar. Sepertinya orang itu terpaksa menerima demi biaya persalinan istrinya."
Nora mengamati wajah Ray. Sejujurnya ia ingin marah tapi apa daya, kondisi Ray yang begitu lemah membuatnya tak tega.
"Nora... Nora... Nora... maaf aku rindu kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...