Backstreet Ex (pt 2)

612 44 0
                                    

Sengat matahari sudah berganti sendu senja berkalung mendung. Tak ada jingga di sana, hanya ada putih awan di sela kelabu.

Netraku terpaut indahnya padu warna di sana. Sangking menikmatinya, aku bahkan tidak sadar jika ada sosok lain sudah mengisi kursi di sampingku.

“Apapun yang direkomendasikan di sini hari ini.”

Suara bariton itu membuatku menoleh. Dia ternyata sedang menjawab pertanyaan salah satu karyawanku.

“Mas?” gumamku.

“Impianmu terwujud ya. Selamat.”

Dia mengarahkan matanya ke sekeliling kafe mungilku. Dia sepertinya menilai detail yang ada, tetapi ini pasti sesuai seleranya. Aku banyak mengadaptasi gaya kafeku dari kafe-kafe yang pernah kami kunjungi dulu.

“Itu, mirip yang di Braga. Itu mirip yang di Kota lama.”

“Hmm… ya. Aku suka vibesnya, cocok dengan jiwaku.”

Aksa mengangguk-angguk. “Eh iya, ini bento box-mu. Sekalian aku mau pesan kue buat 360 orang, besok Senin. Apa bisa?”

“360 orang? Mas mau nikah?”

Ia terkekeh. “Buat karyawanku. Kalau buat nikahan, mana mungkin aku pesen kuenya ke pengantin perempuannya. Pasti aku pakai vendor lain.”

“Dih, garing banget.”

Dia tertawa sendiri sementara aku tak merespon lebih dari sekedar kata ‘garing’.

“Permisi, Pak, ini chocomint-nya. Ini uang best seller di sini.”

Aksa mengucapkan terima kasih sebelum menyeruput minumannya. Jujur aku ingin mendengar komentarnya. Lidah Aksa sangatlah terlatih untuk menilai makanan. Ya, ibunya sangat ahli dalam bidang kuliner, sehingga sejak kecil dia terbiasa menikmati makanan lezat. Kurang sreg sedikit saja, ia pasti akan menyudahi makan atau minumnya. Namun, setelah cecapan pertama, ia melanjutkan meneguk tiga kali minuman itu. Apakah resep rahasiaku cukup membuat lidahnya terpikat legitnya?

Matanya bertemu dengan sorotku.

“Kamu nyuri resep Bunda ya?” tuduhnya.

Aku membuang mata malas.

“Mbak Sya, Ayang dateng.”

Waitress yang tadi menyuguhkan pesanan Aksa kembali mendekatiku. Ada sosok bercardigan knit masuk ke dalam kafeku. Kurapikan letak jilbab yang kukenakan.

“Ras, udah oke belum?” tanyaku pada Raras.

“Udah, Mbak. Cantik kok, cantik paripurna.”

Aku segera beranjak dari tempat dudukku tadi. “Selamat menikmati hidangan kami, Pak Aksara Hangana Wiyasa.”

Aku memberi salam formal pada mantan kekasihku itu sebelum menyambut masa depanku.

“Hai.”

Senyum dari pria yang kusambut tergambar. Kami berjalan bersisihan ke arah ruanganku, di salah satu sudut kanan kafe ini.

Dia adalah sosok baru yang mulai datang mengisi hariku sejak beberapa bulan lalu. Karib kakakku yang mengajariku banyak hal.

“Aksara?”

Aku terkejut saat pria di sampingku menyebut nama Aksa.

“Al Kahf? Lu sampai sini?”

Pria di sampingku terkekeh. “Ini kafe calon istri gue. Sya, kenalin, ini Aksa, kita temen kecil dulu sebelum aku pindah. Eyang kami kolega bisnis. Dia yang punya kantor berlantai tujuh tuh deket terminal.”

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang