Let me love you (3)

245 37 3
                                    

Aroma minyak telon lavender khas bayi tercium di seantero ruangan.
Dua bayi perempuan tengah beradu keimutan. Satu memamerkan keahliannya merangkak secepat kilat dan satu sudah bisa berlari.

"Akde!"

Dua-duanya menjerit bersamaan saat mendapati sosok yang mereka tunggu.

Bazla pura-pura tak melihat dua bidadari kecil yang berusaha mendekatinya.

"Akde!! Akde!!" Keduanya berteriak.

"Pakde, itu loh ponakannya pada manggil, kok diem aja."

Teguran sang ibu membuat Bazla akhirnya urung mengerjai dua keponakannya.

"Ibun ih, harusnya biar mereka nangis dulu."

"Nggak usah ngadi-ngadi, Mas. Mereka berdua udah nungguin dari tadi, sampai nggak bobok siang. Mereka rewel gegara telpon Mas tapi direject mulu."

"Eheheh, sorry. Maaf ya, Pakde sibuk."

Dua bocah itu memeluk kakak dari ibu mereka. Dua puluh tahun lalu, Bazla diperebutkan oleh adik kembarnya, dan sekarang ia diperebutkan dua keponakan cantiknya.

"Kenapa sih kalian ini hm? Seganteng itu ya Pakde kalian? Hm?"

Dua balita itu benar-benar senang jika sudah bersama Pakdenya. Kadang mereka malah lebih memilih tidur dengan Pakdenya dari pada harus tidur dengan orang tuanya.

"Mas, tadi kenapa nggak pulang bareng ayah? Katanya juga nggak jadi rapat? Mas kemana?"

"Ada perlu penting sama Abrar. Makanya tadi nyusulin Abrar."

"Mas, ayah kayaknya udah nggak bisa ditawar lagi deh. Tadi, ayah nyuruh kami bikin konsep acara nikahan buat Mas." Salah satu adik Bazla mengadu.

"Lah? Ngapain sih ayah? Nggak cukup apa ini bocil dua jadi perusuh di rumah kita? Masih kurang gitu cucunya?"

Wanita berhijab yang kini duduk di samping Bazla mengelus kepala sang putra.

“Mas, gimanapun juga, ayah sama ibun pengen kamu juga segera menikah. Kan udah lega kalau semua anak ayah sama ibun hidup bahagia semua. Ayah sama ibun tinggal momong cucu. Kalian bisa tetep ngejar karier, anak-anak kalian biar ibun sama ayah yang urus.”

Bazla hanya bisa diam mendengarkan sang ibu. Ia benar-benar tak tahu harus merespon seperti apalagi.

“Mas, emang Mas beneran nggak pernah gitu tertarik sama cewek? Siapa kek gitu. Aku nggak tega kalau mas harus terpaksa dijodohin sama ayah.”

Adik Bazla menatap sang kakak dengan tatapan sendu.

“Kamu malah bikin Mas jadi OVT, Dek.”

Saat obrolan bersama itu mulai menghangat, suami dari adik bungsu Bazla muncul.

“Assalamualaikum.”

“Wa alaikum salam. Wah, papi pulang.”

Salah satu dari dua anak balita itu berdiri dan menyambut sang ayah.

“Kamu sama siapa?” tanya Bazla saat menyalami iparnya.

“Temenku Mas, Dastan. Lagi mau ngomongin proyek. Dia mau kenalan sama Mas.”

“Iko, Iko, kalau mau ngenalin ke masmu itu yang cewek, jangan cowok terus.” Ibu Bazla protes. Tawa terdengar setelahnya.

Bazla menggendong ponakannya kemudian mengekor sang ipar ke ruang tamu. Sosok berjambang dengan perawakan tegap berdiri saat melihat Bazla datang. Ada senyum di bibir pria berkacamata itu.

“Das, ini masku yang aku certain. Beliau yang mimpin Zahid Group.”

“Mas, saya Dastan.”

“Oh, saya Ibaz.”

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang