Nasya Aureli Shahida, nama yang orang tuaku sematkan untukku. Sya, begitulah aku akrab disapa. Aku anak tengah dari tiga bersaudara, satu-satunya perempuan di antara dua kakak dan adik laki-lakiku. Siapa yang iri denganku? Kalian bukan yang pertama mengatakan iri, jika begitu. Aku, sudah berulang kali mendengar teman-temanku mengatakan jika ingin berada di posisiku, menjadi si anak tengah yang memiliki kakak dan adik tampan yang selalu menjagaku. Namun, nyatanya, hal itu tidak jadi jaminan akan keselamatan perasaanku. Ya… secara fisik mereka memang melindungiku, tetapi secara perasaan? Tidak bisa.
“Sya, nanti tolong anterin dokumen ke tempat Pak Aksa ya?”
Aku menoleh kea rah sumber suara. Kuhentikan kegiatan mengadon kue ku.
“Bang, aku sibuk.”
“Sya tolong, ini dokumennya penting banget dan harus sampai ke tangan beliau langsung. Tolong, ya?”
“Nggak, Bang. Maaf. Suruh adek aja.”
Nazril, kakakku mengerucutkan bibir. Duda beranak satu itu memang menyebalkan sekali jika sudah mengeluarkan jurus memelasnya.
“Sya, toloooong.”
“Kan bisa pakai ojol, bisa pakai jasa antar paket.”
“Ya udah, aku bilangin mami.”
Aku tak menghentikan laju mixerku. Masa bodoh dengan permintaan kakakku. Bukan karena aku adik durhaka. Aku hanya tidak mau bertemu dengan orang yang namanya disebutkan oleh kakakku itu.
Dia, sosok yang pernah begitu dalam menorehkan luka di hatiku. Meski waktu telah berlalu sekian lama, tetapi tetap saja, hatiku masih belum bisa sembuh seperti sedia kala. Kebencianku terlalu dalam padanya.
“Nasya! Kenapa kamu nggak mau bantuin Abang?”
Kali ini kakaku benar-benar keterlaluan. Dia menggunakan mami sebagai senjata. Bisa apa aku kalau mami sudah bertitah. Hanya papi yang bisa membelaku, tetapi seminggu ini papi dinas luar dan tidak akan bisa menjadi superhero yang akan menyelamatkanku.
“Iya nih, padahal Pak Aksara itu kan ganteng. Kamu harusnya seneng disuruh ketemu dia. Gimana sih, Sya. Kali aja dia suka sama kamu. Aku jadi punya adik ipar bisnismen kelas kakap. Kamu tuh abang bantuin tapi malah begitu.”
Mami tersenyum-senyum sembari mengacak pelan rambut kakakku, si anak kesayangannya.
“Apa gunanya ganteng. Kan abang nggak tahu hatinya gimana.”
Aku tak mungkin menceritakan masa laluku dengan Aksa pada mereka. Ya, selama aku menjalani cerita bersama Aksa, aku menyembunyikannya dari seluruh anggota keluargaku. Karena, haram bagiku untuk memulai hubungan sebelum aku cukup dewasa. Itupun, calonku harus lulus seleksi dulu. Seleksi penilaian dari kakak, adik, ayah, dan ibuku.
“Mi, Nasya sibuk. Masih ada satu Loyang lagi ini.”
Kakakku menyahut. “Selesaiin dulu aja. Nggak harus sekarang juga. Cuman, harus sampai ke orangnya secara langsung. Paham?”
Aku hanya bisa diam, tanpa mengiyakan maupun menyanggah. Membayangkan bertemu dengan orang yang sangat kita hindari jelas sama sekali tidak menyenangkan bukan? Semoga, mood burukku tidak berimbas pada kue-kue kesayanganku ini. Jangan sampai dia pahit, sepahit kisah lalu yang diakibatkan oleh si brengsek itu.
***
Sliding door otomatis berbahan kaca dengan lambang perusahaan di depannya itu terbuka. Aku melangkah masuk dan disambut oleh hembusan dingin AC yang cukup kontras hawanya dengan suhu di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...