Backstreet (6)

409 38 4
                                    

Jalanan cukup lengang dikarenakan ini bukan jam keberangkatan maupun kepulangan kerja. Hal ini membuatku dejavu, kami pernah berboncengan seperti ini sebelumnya. Ralat, sering, dulu. Saat kami masih berhubungan.

“Ca, mau mampir ke Kang Jun nggak?”

“Ha? Mukamu lo Mas, babak belur gitu. Obatin dulu lah.”

“Aku laper, Ca.”

Aku mengembus napas. “Aku sama nenek udah masak di rumah, makan di sana aja ya.”

Aku mendengar tawa Aksa. “Ngebet banget sih ngajak aku pulang. Mumpung nggak ada orang ya?”

Cubitanku segera mendarat di pinggangnya, membuatnya mengerang.

“Ca! Sakit Ca! Ya Allah, aku udah babak belur Ca, jangan tambahin lagi penderitaanku.”

“Makanya kalau ngomong jangan asal jeplak!” kesalku.

“Iya! Iya! Ampun!”

Aksa membelokkan motorku kea rah perumahan elite yang ia tempati.

“Loh, kok ke sini?”

“Bentar, aku mau ngambil barangku dulu.”

“Ish, kamu mau nyulik aku ya?” ucapku asal.

“Astagfirullah. Fitnahnya. Ya udah turun sini aja. Kamu tunggu sini. Aku jalan aja ke rumah.”

Dia benar-benar menghentikan motor di depan pagar rumah kakak iparku. Ya, rumahnya memang tak jauh dari rumah kakak iparku. Pemuda absurd itu segera berlari, meski masih mengenakan helm, meninggalkanku di atas motor begitu saja.

“Ih, dasar aneh!” gerutuku.

Kupinggirkan motorku di belakang mobil hitam yang sepertinya tidak asing. Aku pernah melihat mobil seperti ini sebelumnya. Pintu rumah kakak iparku yang tengah terbuka, menandakan memang di dalam tengah ada tamu.
Aku melangkah masuk ke pekarangan rumah. Jam segini, keponakanku pasti masih sekolah. Ya, meski masih batita dia sudah di sekolahkan. Kata Kak Citta, daripada menitipkan pada ART lebih baik di sekolahkan saja di kelompok bermain, tak jauh dari komplek perumahan mereka.

“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam tetapi si empunya rumah tak mendengar. Justru aku mendengar suara lain di sana.

“Ta, kita mulai semuanya dari awal. Aku nggak masalah jika Nino kamu bawa.”

“Sadar, Al. Kita udah berakhir lama. Bahkan sejak sebelum aku nikah sama Mas Nazril!”

“Jangan munafik, Ta. Aku tahu kok kamu masih cinta sama aku. Sejak kecil kita udah barengan, Ta. Dan aku nggak masalah dengan statusmu. Orangtuaku juga berharap banget kamu jadi mantunya.”

“Al, tolong, jangan ngadi-adi ya. Lagian kamu bukannya lagi deket sama Nasya, adik iparku.”

“Ta, aku deket sama Nasya karena biar bisa dapet akses info tentang kamu. Aku bisa ngawasin kamu dan Nino.”

“Kamu mainin Nasya? Ha? Brengsek kamu, Al!”

“Laki-laki mana yang mau dengan anak manja dan culun seperti dia? Jangan bercanda, Ta. Dia jauh dibanding kamu. Dia bukan seleraku. Dan satu hal yang pasti, cintaku habis di kamu, Nacitta.”

Aku berdiri di atas kakiku sendiri. Namun, aku tidak biasa merasakannya. Bahkan, aku tidak tahu apakah otakku masih berfungsi sekarang.

“Brengsek kamu, Al Kahf! Kamu cuman mainin dia? Aku bakal bilang ke Mas Nazril! Jahat kamu! Padahal Mas Nazril temen baikmu sendiri!”

“Temen baik? Lebih brengsek mana, dia yang menikungku, mengambil kamu dariku dengan aku yang berniat baik menjadikan adiknya istriku demi menjaga dan mengawasimu jika kamu masih menolakku.”

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang