"Brar, Abrar! Bangun Brar."
Abrar membuka matanya. Juna terlihat sudah siap mengenakan baju koko, sarung, dan peci.
"Jam berapa ini?"
"Setengah dua. Ayo ke masjid."
Abrar mengucek matanya. "Nanti, setengah jam lagi. Aku masih ngantuk."
"Astagfirullahal adzim. Gus Abrar. Gimana kalau setengah jam lagi waktumu di dunia udah habis. Apa kamu ma-"
"Astagfirullah. Naudzubillah."
Abrar segera melompat dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandi. Juna terkekeh.
"Aku duluan ya!"
Semangat sekali, selama sebulan terakhir, bocah itu selalu menerornya di jam dua pagi. Bahkan kadang Abrar tak tahu kapan Juna datang, karena tak tiap hari bocah itu menginap di tempatnya.
Entah lewat jalan mana, Juna bisa masuk ke kamarnya.
Abrar mengambil handuk dan mengusir kantuk dengan mandi. Ya, ia harus melawan kemalasannya. Juna saja bisa hijrah, dia pun harus bisa juga.
Sejak kejadian tempo hari, dunia Abrar seolah hancur. Ia patah hati. Dan semua itu ia pendam sendiri. Sudah seminggu ia tak lagi menjadi mentor Syeina.
Ia hanya menitipkan latihan soal saja pada kakak Syeina agar diberikan pada adiknya.
Syeina sebenarnya sudah mencoba menghubunginya tetapi Abrar sengaja menghindar. Ia takut kedekatan semunya akan membuatnya semakin terluka.
Ya Allah, kenapa jerat pikat maksiat sesulit ini menghempasnya. Ya Allah, hamba mohon perlindungan-Mu. Jauhkan hamba dari hal-hal penuh mudhorot dalam kehidupan ini, agar tak mengikis iman yang hamba punya.
Terus menerus ia memohon perlindungan tuhannya. Abrar takut, rasa semu itu membinasakannya.
Jauh berkebalikan dengan Juna. Pemuda itu justru getol-getolnya melangitkan satu nama. Aqilla Rumaisha Hasan.
Empat puluh hari, ia mengamalkan serangan jalur langitnya. Meminta dijodohkan dengan gadis itu.
Juna dengan ringannya, melangkah ke masjid. Masih sepi, sangat sepi malah. Hanya ada sepasang sandal di depan tangga masjid.
Juna masuk ke dalam setelah melafalkan doa masuk masjid yang ia pelajari dari Aufa, adik bungsu Abrar.
Dari lantai satu, terlihat ada sosok tengah duduk di shaf terdepan lantai dua.
Bayangan itu memantul di jam kaca di atas kubah imam.
Juna mengamatinya. Gadis yang ia langitkan namanya, ada di sana.Setelah selesai salat. Juna menoleh ke kanan ke kiri memastikan tak ada siapapun. Sebelum ia nekat untuk menginjakkan kaki ke tangga lantai dua masjid.
"Aqilla!"
Gadis itu terlonjak. Ia yang tengah mengerjakan sesuatu pasca salat terkejut karena panggilan Juna.
"Ka-kamu ngapain? Ini khusus untuk akhwat."
Qilla perlahan mundur, menyeret tubuhnya menjauh.
"Nggak usah takut. Aku cuma mau ngomong sebentar. Qilla, kamu mau nikah kapan?"
Qilla mengerjapkan matanya. Ia meyakinkan dirinya tidak sedang bermimpi.
"Aku bentar lagi lulus. Kamu mau nggak nikah sama aku? Habis ini aku bakal cari kerja, sambil nunggu kamu lulus MA. Terus kita nikah. Gimana?"
Qilla menggeleng cepat. "Ka-kamu gila?"
Juna terkekeh. "Iya, aku gila karena kamu. Aku minta Allah biar jodohin kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...