Amplop dengan kop nama rumah sakit yang ada di tanganku, meruntuhkan rencanaku.
Hai, namaku Citta. Nacitta Fadela. Pernah menikah dan bercerai setelah putra pertamaku lahir.
Mau mencibirku? Silakan. Itu jauh lebih aku suka dari pada mendengar pujian berlebihan. Cibiran justru akan menguatkan. Sebaliknya, pujian malah bisa melenakan, membuat kita lalai.
Beberapa bulan terakhir, aku terlalu memforsir diri hingga tubuhku tak bisa menolerir lagi kerja kudaku.
Darah kembali keluar dari hidungku. Kepalaku sudah berkunang-kunang sejak kemarin.
"Ibu, cucu!"
Panggilan itu membuatku menoleh. Putraku Nino yang tengah memegang ponselku yang ia gunakan untuk melihat kereta thomas mendadak panik melihatku mimisan.
Ia memang sudah merengek minta susu sedari tadi. Aku lupa melakukan tugasku membuatkannya susu pasca temanku datang ke rumah memberikan hasil pemeriksaanku pagi tadi.
Tangisnya pecah. Aku ingin segera memeluk putraku, tetapi gerak yang tiba-tiba membuatku limbung dan kehilangan kesadaran. Botol susu anakku pun ikut terjatuh.
Tak kuingat apapun. Saat kubuka mata, sosok berkulit susu itu sudah mengelus wajahku sembari memanggil namaku.
"Nacitta. Bangun, Nacitta."
Suara seraknya, sudah lama tak aku dengar secara langsung.
"Mas?" gumamku.
Tangannya mengecek keningku. Memastikan apakah aku demam atau tidak.
"Dek! Ambilin minum buat Kak Citta sekalian!"
Aku segera bangkit. Kepalaku memang masih berat rasanya tetapi aku tidak mungkin membiarkan tamuku mengambilkan minum untuk tuan rumah.
"Mas, eh Zril. Aku bisa ambil sendiri."
"Kamu overwork lagi?"
Aku menggeleng. Iparku membawa Nino keluar, membuatku harus kikuk di sini bersama laki-laki yang pernah menikahiku itu.
"Emang lagi musim pancaroba sih. Jadi ya gitu."
Kami kembali saling diam. Aku tidak tahu harus bagaimana dan dia pun seperti biasanya, tidak pernah banyak bicara jika tengah berdua denganku. Aku memang tidak menarik di matanya.
Aku beranjak dari ranjang untuk mengalihkan kecanggungan ini.
"Mau ke mana?"
"Ambilin kamu minum. Aku tadi bikin puding kesukaan kalian. Bentar aku ambilin dulu di kulkas."
"Nggak usah. Kamu lagi sakit."
Aku nekat berdiri dan kakiku mendadak rasanya tak bertulang. Aku ambruk. Beruntung Mas Nazril menangkapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomansaKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...