Sincerity 12 End

258 23 3
                                    

Shana kini berdiri di samping ranjang mungil berisi bayi laki-laki yang tidur lelap. Saat ia lahir, ayahnya berpulang.

"Mbak Shana... maaf. Maaf."

Shana, yang datang menggunakan kursi roda terkejut saat ibu bayi itu turun dari ranjang dan berlutut di depannya.

"Hei, Aluna. Cukup. Jangan begitu. Berdiri."

"Luna, jangan banyak gerak dulu. Kamu baru saja lahiran." Sandy mengingatkan.

Aluna menangis. "Mbak, maaf. Saya benar-benar tidak tahu jika Mbak dan Mas Evan masih resmi bertunangan. Maafkan kebodohan saya."

Shana berusaha berdiri. Ia pun memeluk Aluna. Dua orang yang disakiti Evan itu kini berdamai.

"Sudah... sudah. Dia... dia sudah tidak terikat dengan kita lagi. Dia...."

Jujur Aluna juga terkejut mendengar kenyataan itu. Namun, posisinya yang sudah kecewa pada Evan, tak membuatnya 100 persen kehilangan dengan duka mendalam. Evan sudah mencederai hatinya.

"Kamu harus kuat ya, untuk babymu. Siapa namanya?"

Aluna menggeleng. "Belum ada. Saya belum sempat menyiapkan nama. Mbak Shana punya usul?"

"Satria. Bagaimana kalau namanya Satria?"

"Bagus itu. Biar dia jadi ksatria nantinya." Sandy setuju.

Aluna pun menyetujuinya. "Terima kasih Mbak. Nama yang indah."

"Apa boleh aku gendong dia?"

Aluna mengangguk. Shana begitu excited. Ia dan Aluna seharusnya kini menangis di rumah duka keluarga Evan, tetapi laki-laki itu sudah mencabik perasaan mereka sehingga ketika ia tak lagi ada pun, dua wanita itu telah mati rasa, tak peduli atas dirinya.

Shana terlihat bahagia. Ia menciumi pipi bayi merah itu.

"Sayang, jangan keras-keras. Kamu kayak mau nggigit, bukan nyium," tegur Niel.

Shana meringis. "Gemes banget, Iel. Nih, lucu banget dia. Satria sayang. Satria sholih."

Sandy menyenggol Niel. "Tadi kamu panggil putriku apa?"

Niel menelan ludah. Ia pun menegakkan tubuhnya. "Om, setelah semua keributan dan kekacauan ini, apa boleh saya menghalalkan putri Om? Saya... saya takut hubungan kami semakin ke sini semakin ke sana, jadi dari pada menyulam dosa tanpa sadar terus menerus maka saya ingin menikahi Shana. Apapun yang Om minta, apapun syaratnya, insyaaallah saya usahakan."

Sandy menatap Niel tajam. Niel tak gentar. Ia tetap teguh pendirian meski bisa saja Sandy membantingnya dengan satu tangan.

"Niel, kamu tahu kondisi Shana kan?"

"Siap, tahu Om. Saya tidak peduli dengan hal itu. Saya menikahinya bukan semata-mata untuk memiliki keturunan. Pun saya yakin Shana pasti akan sembuh. Saya tidak mempermasalahkan hal itu."

"Kamu tahu dia rewel dan cerewet kan?"

"Siap, tahu Om. Saya sudah punya jurus jitu mengatasinya."

"Apa yang membuatmu yakin untuk menikahinya?"

Shana jujur saja juga deg degan, ia takut sang ayah menentang.

"Saya... lima tahun lalu kecelakaan. Seperti yang Om dengar sebelumnya. Saya sama sekali tidak ingat apapun. Siapa saya, siapa orang tua saya, keluarga saya, masa lalu saya. Hanya ada satu hal yang saya ingat. Shanaya. Satu nama itu. Satu orang itu. Saya ingat semua tentang dia. Apa warna favoritnya. Apa yang dia suka, dia benci, bahkan ukuran sepatunya saya ingat padahal nama saya sendiri saja saya tidak ingat. Di situlah saya sadar, dia pasti orang yang berharga dan spesial di hati saya. Hingga alam bawah sadar saya merekam semua tentang dia dengan jelas."

Green but Redflag (short love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang