Abrar POVApa yang bakal kalian lakukan jika mendadak ada bidadari di rumah kalian sedang bercengkrama dengan sembilan adikmu?
"Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam warahmatullah."
Syeina, ya... dia berada di antara adik-adikku sedang memangku sebuah ensiklopedi.
"Mas Abrar!"
Semua adikku berjajar satu-satu menyalamiku. Ada empat laki-laki dan lima perempuan. Terakhir adalah si bungsu Aufa.
"Mas Ablal. Baju Upa balu. Beliin Mbak Nena."
Aku baru sadar, bukan hanya Aufa saja yang bajunya baru. Bahkan si Zacharia dan Abbas yang sudah besar pun dapat.
"Syei, kenapa adikku jadi anak panti?"
Syeina terkikik. "Afwan, Gus. Habisnya mereka gemes."
Mendengar Syeina memanggilku dengan sebutan itu entah kenapa sepertinya ada hal aneh membuat sesuatu bereaksi dalam tubuhku.
"Tapi Ning Syeina nggak perlu menyeragamkan mereka juga. Lebaran masih lama."
Mendengarku menyebutnya Ning, dia tertawa.
"Ish, Mas Abrar ih. Ning apaan kayak gini modelnya. Ningkring?"
"Aduh, duh. Ning sama Gus. Ning nong ning gong. Nikah dong." Juna, bocah yang mengintiliku tadi menyeletuk.
"Kak Juna, Kak sini, sini, aku punya ini."
Syeina menunjukkan gambar motif batik pada Juna.
"Kamu yang gambar Syei?"
"Bukan. Ning Aqilla yang gambar tadi."
Juna mengambil kertas itu. Ada senyum tersungging di bibirnya. Ia memang tengah mendekati sepupuku Aqilla. Meski Aqilla tak pernah menggubrisnya.
"Gambarnya Ayang. Liat nih, Brar, dia udah cocok jadi pewarisnya Ibuku. Pasti kalau besok aku kenalin ke ibu sama Eyang, pasti langsung ACC."
"ACC ibumu tapi sama abahnya belum tentu di ACC. Ngajimu loh baru Iqro 4. Sama Upa aja kalah. Mau nikahin Hafidzoh."
"Loh, loh, akan lebih baik, aku yang belum hafal Quran, berniat menikahi Hafidzoh. Bukannya Mbah Nyai pernah ngendiko kalau sebaik-baiknya pasangan adalah yang bisa saling mengingatkan bersama-sama mengingatkan dalam kebaikan. Aku bakal bantu dia jaga hafalan dengan nyuruh dia ngajarin aku hafalan. Belum tentu kalau sama-sama pinter agama nanti bisa langgeng. Bisa jadi malah bahtsul masail tiap hari."
"Gayamu, bawa-bawa Bahtsul Masail." Aku terbahak.
Juna terkekeh. "Loh aku itu serius sama Ning Aqilla. Makanya aku belajar banyak."
"Assalamualaikum."
Suara sepupuku terdengar. "Wa alaikumussalam."
"Gus, ngapunten, saya diutus sama Bude untuk manggil Ning Lili, Ning Luna, sama Ning Ai. Diminta setoran di masjid."
"Hayo, itu sudah dijemput Mbak Dilla. Sana yang udah dipanggil, cepet ke masjid."
Tiga adikku segera berdiri. Mereka berpamitan pada Syeina dan entah saling berbisik apa. Syeina memeluk adikku satu-satu.
"Dilla, ayangku mana Dek?"
Adilla, kembaran Aqilla terkikik. "Mbakku lagi nggambar Mas. Di sana deket kebun mawar. Susulin aja," bisik Adilla, tapi aku mendengarnya.
"Dilla, kamu ini. Jangan dukung dia."
"Loh, Gus. Kenapa? Kan Mas Juna baik. Cocok sama Mbak Qilla. Aku sih setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
RomanceKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...