Kencang angin di luar membuat jendela kamar Gehna mendadak terbuka. Dara itu lupa untuk mengunci rapat jendela di sisi timur kamarnya.
“Astagfirullah,’ lirihnya sembari menutup jendelanya secepat mungkin agar air tak masuK. Tak Sengaja ia melihat kea rah bawah. Mobil putih itu ternyata belum berpindah tempat.
“Mas Han masih di bawah?” gumam Gehna.
Ia awalnya tak ambil pusing. Mungkin Nohan masih menghubungi seseorang sehingga memilih untuk menepi di sana sementara waktu. Gehna pun segera naik ke tempat peraduannya. Mantel hangat milik sang pria masih melekat di tubuhnya, membuat Gehna kembali bangun dan melepaskannya. Ia pun mengintip lagi di balik gorden, apakah pria itu masih di sana. Dan, mobilnya masih di sana.
“Apa Mas Han nungguin jaket ini?”
Gehna pun kembali memakai jilbabnya dan segera turun. Ia memasukkan mantel itu ke dalam salah satu totebag dan berniat mengembalikannya.
Angin kencang menyapa beserta rintik yang siap membasahinya. Gehna kembali masuk dan menyambar hoodie kelinci miliknya, ia pakai tudung bertelinga itu sebelum keluar karena ia tak mau basah.
Sembari memakai payung, Gehna keluar dengan niat mengembalikan mantel Nohan. Gadis itu mengetuk sisi kanan pintu mobil.
Ia melihat Nohan tengah memejamkan mata dengan wajah yang kelelahan. Pemandangan itu seolah tak asing.
“Nohan, kakek tidak mau tahu. Kamu itu penerus keluarga Hanggana. Mana boleh hanya menduduki peringkat ke dua parallel! Mana boleh kamu hanya meraih medali perak dalam olimpiade! Sudah kakek bilang! Jangan pergi bermain! Tugasmu itu hanya belajar! Jangan keluar dengan manusia tidak penting yang kamu sebut kawan itu. Kamu tidak perlu berteman, tidak perlu berkawan. Nanti kalau kamu sukses seperti kakek, semua orang akan mendekatimu, menyebutmu kawan.”
Gehna pernah mendengar kalimat panjang dengan nada berapi-api itu. Waktu ia ikut kakaknya yang berniat mengajak Nohan bermain basket bersama, tetapi yang mereka temui justru Nohan yang tengah dimarahi oleh kakeknya karena gagal mempertahankan peringkat pertamanya.
Gehna dan Gana kala itu hanya bisa berdiri di balik pintu pagar, menyaksikan Nohan tertunduk lesu setelah sang kakek membuang medalinya dan mengenai wajah pria yang dulu masih duduk di bangku SMP itu.
Suara petir mendadak terdengar. Nohan yang tengah menenangkan pikirannya kini membuka mata. Ia tak benar-benar tidur, meski begitu suara deras hujan di luar membuat panggilan Gehna tadi tak terdengar. Ia kini menyadari ada sosok dara berhoodie kelinci yang tengah berdiri di samping mobilnya.
“Nena?”Ia bergegas membuka pintu mobilnya. “Na, kamu ngapain?”
Gehna mengulurkan tasnya.
“Ini mantelnya tadi, maaf lupa. Mas ngantuk ya?”
Nohan tersenyum, ia menggeleng.
“Enggak kok. Ini mah kapan-kapan aja dibalikinnya.”
“Terus Mas ngapain kok nggak langsung pulang?”
“Aku nunggu keluargamu pulang dulu. Bahaya kalau kamu di rumah sendiri dengan cuaca begini.”
“Mas, aku nggak apa-apa kok. Mas pulang aja, istirahat.”
Nohan kembali tersenyum. “Udah sana masuk. Kalau kamu ngerasa nggak nyaman aku tungguin di sini, nanti aku pindah ke depan sana.”
“Mas… Mas itu pasti capek. Jangan ngeyel. Mas nanti bisa sakit. Di luar dingin.”
“Anak kelinci juga ngapain ujan-ujanan di sini, nanti sakit. Udah sana masuk, bobok. Bukannya besok mau ketemu sama camer? Nggak lucu kalau kamu jadi flu dan batal ketemu camer.”
![](https://img.wattpad.com/cover/345241033-288-k844810.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Green but Redflag (short love story)
Roman d'amourKisah-kisah cinta yang dikemas dalam sajian pendek... Boleh sih minta diperpanjang, by request... Happy reading...