Prolog

3.7K 75 6
                                    

.
.
.
Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu keluar tak lama setelah rasa mulas yang sangat yang kukira karena aku ingin pub.

Rintihan yang tadi cukup keras, berubah menjadi semakin pelan. Sesuatu itu bergerak-gerak meski tak seaktif sebelumnya. Menggapai-gapai mencari kehangatan.

Bayi. Sesuatu itu memang bayi.

Patah sudah usahaku untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa kehamilan itu tidak nyata. Berbulan-bulan aku berusaha menganggap perubahan pada diriku hanya karena aku bertambah gemuk. Menghindari segala pemeriksaan untuk memastikan hal itu. Aku menjauh dari keramaian, menjauh dari keluargaku karena aku takut akan hal ini. Dan hari ini, ketakutanku terbukti.

Oh Tuhan...
Bagaimana sekarang?
Apa yang harus aku lakukan pada bayi ini??

Kucoba berdiri mengabaikan rasa tak karuan di daerah sensitifku. Plasenta bayi itu yang belum terputus terlihat nyata di mataku. Darah sudah bersimbah di mana-mana memenuhi lantai. Dengan bergetar, tanganku menarik plasenta itu. Kutarik paksa. Air mataku menetes. Aku menggigit bibir bawahku karena rasa di sana semakin tidak karuan.

Aku berhasil. Sesuatu yang menggumpal keluar dari sana. Tapi akibatnya, darahku semakin banyak keluar. Pandanganku mengabur. Rasa pusing tak tertahankan menyerang kepalaku. Aku berpegangan pada handel pintu agar tidak tumbang. Tapi nyatanya aku tidak cukup kuat. Aku akhirnya jatuh di samping bayi yang semakin lemas itu.

Pandanganku melemah. Mataku menatap mata bening bernetra biru tua yang seakan balas menatapku. Mata bening tanpa dosa, sebening jiwanya yang tidak mengerti apa-apa. Dengan sisa kekuatan yang kupunya, kuraih pelan tubuh mungil yang rapuh itu. Kuletakkan dia di dadaku dengan susah payah. Saat itu lah aku melihat dengan jelas, betapa tampan wajahnya. Seketika aku jatuh cinta padanya.

Meski dia hadir karena kesalahan, harusnya aku tidak begini. Harusnya aku tidak mengingkari kehadirannya. Sejak awal seharusnya aku tahu bahwa makhluk kecil ini menghuni tubuhku. Harusnya gerakan yang dia tunjukkan padaku, lebih dari cukup untuk membuatku memandang kehadirannya.

Namun, nyatanya aku cukup bodoh. Terus berusaha mencari alasan akan bukti yang dia tunjukkan sebagai sebuah halusinasi. Aku menolak eksistensinya dengan alasan tak masuk akal. Bodoh. Aku memang bodoh.

Dalam sisa kesadaran yang aku miliki, aku melihat bayi itu yang menjilat-jilat dadaku. Pandanganku semakin kabur. Rasanya dari bawah sana, darahnya menyembur banyak sekali. Aku pasti kehilangan banyak darah. Tidak tahu apakah akan ada yang menolong atau tidak. Rasa berat di mataku semakin menjadi. Aku mencoba terus terjaga meski dengan sia-sia. Kesadaranku semakin tertelan kegelapan. Gelap. Selamat tinggal dunia.

☆☆♡☆☆

IG : Real.bee21

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang