.
.
."Aku taruh Rain di ranjang dulu, biar nyaman!" katanya melihat Rain sesekali terbangun karena posisinya atau mungkin suara kami yang terlalu berisik.
Aku mengangguk, hanya memperhatikan saja pria itu meletakkan putranya di tengah ranjang. Terlihat sangat halus dan lembut. Pria itu sangat tahu bagaimana membuat putranya nyaman. Setelah menyelimuti Rain dan meletakkan dua guling di sisi kanan dan kirinya, pria itu kembali mendekat padaku. Lalu, duduk di sampingku tanpa jarak. Membuat tubuh kami menempel sepenuhnya.
"Aku pengen setiap hari begini, menghabiskan waktu bersama kalian," katanya dengan pelan, tangannya memeluk bahuku, kecupan lembut mendarat di puncak kepalaku.
"Iya. Nanti kalau sudah menikah kan bisa." Aku menyandarkan kepalaku dengan nyaman di bahunya.
"Ra, aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh. Tanya aja!"
"Kevin ... kenapa kalian putus?"
"Apalagi? Gara-gara kamu. Aku nggak mungkin lanjut pacaran sama dia, setelah tidur sama kamu. Aku langsung putusin dia, setelah pulang dari sini sore itu," jawabku berusaha tegar. Padahal, ingatan itu sangat menyakitkan buatku. Aku hanya, tidak ingin menangis. Lagi. Sudah cukup airmataku tumpah selama ini.
"Maafin aku, ya! Waktu itu, aku jahat banget sama kamu," ujarnya dengan penuh penyesalan.
"Iya. Kamu jahat banget. Nggak cuman jahat sama aku, tapi juga jahat sama Kevin. Waktu itu, aku sering berpikir, kamu itu monster, jahat, brengs*k, bajing*n ..."
Dan sebelum emosiku naik seiring ucapanku yang semakin berapi, laki-laki itu menutup mulutku dengan caranya yang paling indah dan memabukkan. Membuat emosiku reda seketika. Semudah itu, dia membolak-balikkan perasaanku.
"Iya. Aku jahat banget waktu itu. Maaf, ya! Asal kamu tahu, setelah melakukan itu, aku berhari-hari frustasi ngebayangin kamu benci banget sama aku. Aku nggak bisa tidur, nggak bisa fokus kerja, bahkan nggak nafsu makan. Aku mikirin kamu terus ..."
"Tapi kamu lakuin itu lagi. Kamu paksa aku buat datang ke sini, dan lagi-lagi tidurin aku," bantahku tidak percaya jika dia menyesal. Nyatanya dia kembali melakukan itu padaku. Lagi dan lagi. Berkali-kali.
"Iya. Aku minta maaf. Aku nggak bisa nahan buat berhenti waktu itu. Aku ... sudah kecanduan sama kamu. Kamu yang pertama buat aku. Dan sebagai laki-laki dewasa yang sudah sekian lama menahannya, pas sudah sekali ngerasain, aku pengen lagi dan lagi. Dan aku cuman mau sama kamu. Nggak mau sama perempuan lain."
"Bohong!" decihku. Tidak langsung percaya pada setiap ucapannya. Bisa saja kan dia hanya merayu untuk meniduriku lagi.
"Kamu nggak percaya?"
"Enggak!"
"Tapi aku jujur, Ra."
"Kamu bilang setelah melakukannya yang pertama kali, menyesal. Tapi kamu masih mengulanginya lagi. Aku bahkan nggak bisa hitung, berapa kali kamu paksa aku buat lakuin itu."
"Mau sekali lagi?"
Sebelum aku menjawab, pria itu sudah kembali menghisap mulutku. Lagi. Kali ini, tangannya mulai kurang ajar, membuatku menggeliat tidak karuan seperti cacing kepanasan.
"Mau, ya! Hadiah buat ulang tahun aku!" Dia menatapku dengan matanya yang berkabut.
"Lakuin aja, dan aku tidak akan pernah temuin kamu lagi!" Aku terpaksa mengancamnya agar membuatnya berhenti.
"Ra!" suaranya merengek seperti bayi, "Jangan tinggalin aku lagi!" Memelukku dengan erat.
"Makanya jangan aneh-aneh!" tukasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...