Makasih yang udah vote, komen dan follow...
Tandai typo, ya!!
Luvv 💕
***
Hampir setengah jam setelah turun dari mobil yang kukendarai sendiri, aku hanya berdiri di samping mobilku seraya memandangi rumah mungil yang tak pernah gagal membuatku menangis. Rumah penuh kenangan yang menjadi saksi bisu susah dan senang yang kami lewati selama lebih dari dua bulan pernikahan.
Sesak. Di halaman rumah inilah aku membiarkan Dira berjalan terseret-seret dengan darah mengalir dari tubuhnya. Di halaman ini juga aku melihat kalimat kebencian terakhirnya, yang menghantuiku setiap malam hingga sekarang. Aku ... membunuh darah dagingku yang belum kuketahui keberadaannya, juga di halaman rumah ini.
Ya. Setelah hari itu, aku menyuruh Samuel menyelidiki Dira. Dan hasilnya, ternyata Dira keguguran malam itu. Sam bilang, Dira hamil sudah memasuki bulan ketiga. Bertambah sesak dadaku karena aku tahu bahwa yang kubunuh adalah darah dagingku sendiri.
Padahal, aku begitu mengharap Dira hamil lagi, karena aku sangat ingin merawatnya. Aku ingin menebus saat dulu tidak mendampinginya sewaktu hamil Rain. Aku ingin seperti laki-laki lain, yang direpotkan oleh kehamilan istrinya. Jadi, ketika Dira bilang tidak ingin hamil lagi, aku marah. Aku sangat emosi padanya. Dan tepat setelah itu, masalah di perusahaan datang bertubi-tubi. Membuatku tidak bisa memikirkan Dira saat itu. Dan ketika masalah mereda, hubungan kami sudah tidak terselamatkan.
Melangkah mendekat, aku memegang erat botol minuman alkohol yang baru kuminum beberapa teguk. Mendekat berarti akan banyak kenangan Dira yang akan kulihat kembali. Namun, beberapa teguk minuman yang sudah masuk, memberi keberanian didiriku.
Membuka pintu dengan kunci yang kubawa, aku terpaku. Di ruang tamu yang tidak luas itu. Aku melihat bayangan Dira dan diriku serta Rain kecil yang tertawa bahagia. Rain berada di pangkuanku, sedang Dira menyender di bahuku.
"Rain sedikit demam, Kak. Dia nggak mau ngapa-ngapain. Dia terus saja minta gendong seharian ini."
Itu percakapan kami di suatu sore. Saat aku baru pulang kerja. Dira mengeluh karena Rain terus menempel padanya. Jadilah aku yang gantian mengasuh Rain karena Dira bilang sudah sangat lelah.
Bayangan itu berjalan ke dalam. Aku melangkah mengikuti mereka. Namun ternyata bayangan itu menghilang tepat sebelum aku memasuki ruang tengah.
"Kak! Aku lagi asyik nonton!" suara Dira yang melengking membuatku mengalihkan pandangan dari bayangan hilang ke sofa yang ternyata sudah muncul bayanganku yang tertidur di sofa berbantalkan paha Dira.
"Kakak tidak tertarik melihatnya." Aku di bayangan itu membelakangi layar TV, membenamkan wajahku di perut rata Dira. Mengecup berkali-kali perutnya sembari tanganku meraba punggungnya. Mencari kaitan branya yang hampir berhasil kulepas, jika saja tangan Dira tidak menepisku tadi.
"Kak! Ngapain sih?" Dira mendorong tubuhku dengan masih asyik menonton film kartun kesukaannya. Spons kuning yang hidup di air dan bisa berbicara.
"Nenen!" Aku memanyunkan bibirku lalu mengangkat kepalaku mengecup singkat bukitnya yang kumaksud.
"Ih! Aku masih nonton!" Memukulku dengan bantal sofa seraya melotot.
Setelah itu, kami bercinta. Dira tidak ingin pindah ke kamar, karena kartun kesayangannya belum selesai (padahal tanyangan itu sudah diputar berkali-kali hingga aku hafal). Sehingga kami bercinta di sofa sempit itu. Dira pada akhirnya selalu mengiyakan ajakanku meski awalnya menolak. Namun, bayangan itu menghilang sebelum sempat sampai adegan percintaan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...