.
.
.Acara bakar-bakaran benar-benar meriah. Banyak sekali tetangga yang datang. Daging yang kubeli siang tadi, sudah mulai matang satu persatu. Tetangga kami, ada yang datang membawa setengah karung jagung manis, untuk ikut dibakar juga. Nasi putih panas, sate ayam pedas, dengan lalapan benar-benar membuat mulut meleleh.
Aku hanya membantu memegang piring berisi sate siap bakar. Kak Alvin membakar sate dengan semangat. Wajahnya sudah berkeringat. Kaosnya bahkan sudah basah di beberapa bagian karena keringat. Kenapa dia terlihat tampan sekali jika sedang begini? Ya ampun, kenapa dia terlihat sangat ... jantan? Dira, apa yang kamu pikirkan?
"Awas ileran liatin Alvin sampai kayak gitu!" Kak Gita menepuk pundakku super keras. Piring yang aku pegang nyaris terjatuh.
"Kak!" aku berteriak kesal. Beberapa tetangga yang mendengarnya menertawakanku. Membuatku ingin masuk tanah saking malunya, karena ketahuan asyik melihat Kak Alvin. "Bumil Sialan! Iseng banget sih," aku mendengus kesal.
"Emang iya, ya?" Kak Alvin membuatku mengalihkan pandangan dari Kak Gita yang sudah setengah berlari mendekat ke Bunda.
"Apaan?" Aku mengerutkan dahi, tak paham maksud pertanyaannya.
"Liatin Kakak sampai ..."
"Enggak! Dira liatin sate kok," elakku.
"Oh." Kak Alvin kembali mengurusi sate. "Ini ada yang udah matang. Mau?"
"Mau!" Aku mengangguk bersemangat. Lapar dari tadi mencium bau sate.
Kak Alvin mengambil tiga tusuk sate, menyodorkannya kepadaku, "Hati-hati, panas!"
Aku mengangguk tanpa suara. Mencium bau sate di tanganku, lalu menggigit ujungnya. "Enak!" Aku mengangguk-anggukan kepala, sembari melanjutkan memakan sateku.
Kak Alvin tersenyum melihatku. Menyelipkan sejumput rambut ke telingaku, dengan tangan kirinya yang tidak memegang kipas. Hatiku meleleh rasanya. Detik ini, aku merasa menjadi wanita paling beruntung sedunia. Tiba-tiba, aku teringat dengan Kak Desi. Aku mengedarkan pandangan mencarinya. Tapi, dia membuang pandangan sedetik sebelum aku melihatnya. Kenapa aku senang melihatnya cemburu? Apa aku jahat?
"Ada apa?" Kak Alvin mengikuti arah pandangku.
Aku hanya menggeleng. Tidak mau menceritakannya. "Dira ketemu Bunda dulu, ya! Kangen."
Aku langsung berjalan ke tempat Bunda duduk bersama Ayah dan Rain, setelah Kak Alvin mengangguk. Mereka berada di beranda rumah. Tidak jauh dari mereka ada Kak Desi dan Kak Gita yang terlihat sedang berbincang. Di mana Kak Andri? Ah itu, dia sedang keliling sembari membawa jagung bakar di tangannya. Makan sambil berjalan? Semoga Rain tidak melihat dan mencontohnya suatu hari nanti.
Aku duduk di samping Bunda. Rain langsung tertawa melihatku. Bayi yang hampir 8 bulan itu, terlihat semakin tampan. Geraknya yang tambah aktif, membuat Bunda kewalahan. Rain jika diturunkan sudah merangkak ke mana-mana. Ayah mengambil Rain dari Bunda. Membawanya pergi ke tempat Kak Andri, yang sekarang sedang duduk di dekat Kak Alvin. Seakan memberi waktu untukku dan Bunda.
"Bunda bahagia lihat Dira bahagia," kata Bunda setelah Ayah menjauh. "Bunda lihat, kalian saling mencintai."
Aku merebahkan kepalaku ke pangkuan Bunda. Membiarkan Bunda membelai rambutku dengan sayang. Aku membenamkan wajahku di perut Bunda. Menikmati kenyamanan yang sudah lama tidak aku rasakan. Jika aku susah tidur dulu, posisi ini ampuh membuatku cepat terlelap.
"Bunda nginep kan?" tanyaku masih dengan posisi yang sama. Padahal, mulutku masih belepotan sate yang baru saja kumakan.
"Iya. Ayah sudah bilang mau nginep."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...