.
.
.Aku masih ingat sekali, kata-kata Kak Gita waktu itu. Setelah aku membuat Rain jatuh. Saat aku bertanya bagaimana kondisi bayi itu. Nyatanya, setelah kejadian itu, aku terus teringat senyum lembut dan tatapan kecewanya padaku. Bergantian menghantuiku. Sekali waktu wajahnya yang berbinar dan senyum lembutnya hadir di kepalaku. Namun, tak lama kemudian, tatapannya yang kecewa sebelum menangis kencang, membuatku mencelos. Aku terus saja memikirkan hal itu.
"Tega kamu, Dira! Kamu berniat membunuh darah daging kamu sendiri. Meski dia lahir dari kesalahan, dia adalah bayi yang suci tanpa dosa dan salah. Di mana hati nurani kamu sebagai seorang ibu? Apa kamu memang benar-benar sudah gila? Banyak orang menginginkan anak hingga berusaha ke sana ke mari, tetapi kamu dengan seenaknya ingin membunuh anak kamu sendiri? Memangnya kamu kurang dosa, ya? Setelah berzina hingga hamil di luar nikah, kamu ingin bunuh diri dan membunuh anak kamu juga? Sungguh kamu akan kekal di neraka jika benar-benar melakukan itu semua," waktu itu, Kak Gita berbicara dengan kemarahan yang menyala di netranya. Membuatku yang pertama kali mendengar amarahnya, kaget tak menyangka.
"Kamu pikir selama ini Kakak diam karena apa? Kakak kasih kamu waktu untuk merenungi semuanya. Kakak kasih kamu kesempatan untuk menyesali dosa apa pun yang sudah kamu lakukan. Kakak berharap, akan tiba waktunya kamu bisa mencintai darah daging kamu dan mulai menerimanya. Tapi apa? Kamu justru menyia-nyiakan waktu yang Kakak beri. Kakak kecewa sama kamu."
"Kakak akan mengadopsi anak kamu. Kakak akan mulai mengurusnya hari ini juga. Setelah anak itu jadi milik Kakak, Kakak nggak akan izinkan kamu bertemu dengannya. Bahkan jika kamu meminta dan memohon hingga menangis darah, Kakak tidak peduli. Kakak nggak mau bayi setampan itu dilenyapkan oleh ibunya sendiri."
Sehabis mengatakan itu, Kak Gita pergi. Meninggalkanku yang diam tergugu dengan air mata yang mulai berlelehan dari mataku. Untuk pertama kalinya, aku sangat ingin melihat bayi itu. Aku ingin memastikan keadaannya. Namun, aku masih sangat egois untuk melakukannya.
Hingga sepekan setelah itu, aku tidak kuat lagi menahan rasa bersalah dan penyesalan yang sangat. Senyum lembut bayi itu saat ajh menggendongnya pertama kali, terus terbayang tanpa henti. Setiap hari dan setiap waktu. Lalu saat tatapan kecewa bayi itu kembali menghantam memoriku, aku merasa tidak akan siap menerima kebencian bayi itu.
Hingga aku merengek pada Kak Gita. Berjanji akan memperbaiki diri dan mencoba menerima bocah itu. Namun, tidak mudah sama sekali. Kak Gita mempersulitku. Ingin memastikan aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Berhari-hari kemudian, baru Kak Gita izinkan. Sejak saat itu, aku menamai putraku Rain. Aku meminta maaf padanya dan kami membuka lembaran hidup yang baru. Aku mencoba menebus semua waktu yang berlalu dengan sia-sia. Aku mencintainya. Sangat. Sejak saat itu.
Itulah mengapa, aku menganggap sebulan sebelum hari ini, aku amnesia. Karena aku tidak ingin mengingat kebodohanku yang mau melenyapkan salah satu anugerah paling indah di dalam hidupku. Aku sudah melewati titik terendahku. Itu semua, karena Kak Gita. Dia yang membantuku. Dengan tulus. Tanpa mengharap apa pun. Kak Gita adalah, perpanjangan Tangan Tuhan untukku. Aku sangat beruntung mengenalnya. Tiada terkira betapa bahagianya aku memilikinya. Orang yang kutemui tanpa sengaja, memperlakukanku layaknya keluarga.
☆☆♡☆☆
Aku kembali membenarkan kancing bajuku yang kulepas karena Rain terbangun minta nenen. Kucium lembut pipi montok putra tampanku sebelum turun dari ranjang. Sudah hampir jam 7 pagi. Aku sudah terbangun sejak jam 5 tadi, namun aku malas beranjak. Jadi yang kulakukan hanya memainkan game diponselku hingga Rain yang terbangun menginterupsi.
Aku mengikat asal rambut panjangku. Menarik nafas panjang, lalu membuka tirai jendela kamar dengan malas. Aku benar-benar malas sekali. Ini sudah hari ketiga Kak Gita pergi. Dan aku semakin tidak tahu mesti melakukan apa tanpanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...