57. Terjadi Lagi

516 30 2
                                    


***

"Masuk!"

Aku seakan baru saja disiram air surga. Suara halus dan lembut Dira, menyusup merdu di pendengaranku. Aku segera mengikuti langkahnya masuk ke dalam. Duduk di kursi usang yang tersedia di sana. Dira duduk di seberangku.

Kami saling diam. Aku menatap Dira yang terus menunduk. Kuperhatikan seksama wanita yang begitu jauh berbeda dari terakhir kali kami bertemu. Dia begitu cantik dengan penampilannya sekarang. Memakai gamis longgar bercorak sederhana berwarna coklat, dengan jilbab coklat susu sebagai padanannya. Meski ini masih sama dengan yang Dira pakai saat ke pasar tadi, tapi melihat langsung dari dekat membuatku terpesona.

Aku meneguk ludah. Apa aku bisa merelakannya untuk laki-laki lain, sedangkan aku begitu ingin membawanya pulang? Melihat Dira yang jauh lebih dewasa sekarang ini, aku bertambah mencintainya. Cintaku yang memang tidak pernah padam, seakan meletup-letup di dalam sana. Aku harus bagaimana?

"Ada apa Kakak ke sini?" tanya Dira membuat hatiku mencelos. Seakan, Dira tidak mengharapkan kedatanganku.

"Ra, Kakak ingin minta maaf," suaraku lirih.

"Sudah aku maafkan!" katanya seperti tidak ingin mendengarku bicara lebih lama.

"Kakak ingin ... meminta maaf!" Banyak sekali kata-kata yang sudah kurangkai. Namun, hanya ini yang bisa aku keluarkan. Lidahku kelu, otakku tiba-tiba saja tidak bisa berpikir.

"Iya. Sudah aku maafkan!" Dira menatapku membuat aku sangat gugup. Wajah cantik Dira seperti menyihirku.

Sekarang apa lagi? Aku harus bilang apa lagi? Aku tidak mungkin mengajaknya pulang. Jelas-jelas Dira sudah bahagia dengan keluarganya yang sekarang. Aku tidak mungkin menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Apalagi, mereka sudah memiliki anak. Aku sudah pernah merasakan perihnya menjadi korban perceraian. Aku tidak ingin anak-anak Dira juga merasakan hal yang sama denganku.

"K-kakak hanya ingin minta maaf saja. Kakak janji nggak akan ganggu hidup Dira lagi! Maaf jika selama ini, Kakak banyak salah sama Dira! Bi-bisakah kita setelah ini menjadi teman, Ra?" hampir menangis aku mengatakannya.

Dira menatapku dalam. Aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan. Kemudian, Dira menarik napas berat dan menghembuskannya. Menggelengkan kepala. "Aku nggak mau jadi teman Kak Alvin."

Air mataku mengembang. Bahkan Dira tidak mau menjadi teman. Apa dia benar-benar tidak mau bertemu lagi denganku? Meski menyakitkan, aku tidak mungkin memaksakan kehendak. Aku harus menghormati keputusannya. Dengan sangat berat hati, aku bangkit dari dudukku.

Aku baru membuka mulut saat seorang anak kecil datang dengan wajah mengantuknya. Sangat mirip sekali dengan Dira. Berapa umurnya? Dari postur tubuhnya yang sangat kecil, sepertinya baru 2 atau 3 tahun? Jika 3 tahun, berarti Dira menikah lagi setahun setelah pergi dariku. Hanya dalam setahun dia mendapatkan penggantiku. Bagaimana denganku? Apa seumur hidup akan cukup untuk melupakannya?

"Mommy sudah pulang?" tanya anak laki-laki itu. Duduk di pangkuan Dira dengan manja. Wajah mengantuknya sangat menggemaskan sekali. Dira kecil versi laki-laki. Akhirnya keinginan Dira untuk memiliki anak yang mirip dengannya sudah terwujud.

"Hm. Sudah!" Dira menjawab sembari mengecupi pipi anak laki-laki itu.

Tunggu! Jika anak Dira sudah 3, lalu yang paling besar baru 3 tahun, umur berapa 2 anaknya yang lain? Itu berarti Dira melahirkan anak setiap tahun. Aku mendengus. Cemburu menyelusup ke hatiku. Dengan suami barunya, Dira mau setiap tahun melahirkan anak. Tapi, denganku dia tidak mau. Apa spesialnya suaminya yang baru? Kerja apa dia? Apa dia lebih tampan dariku? Sangat menjengkelkan sekali. Hatiku terbakar cemburu hingga terasa menyakitkan.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang