Bagian 3

1.5K 54 2
                                    

.
.
.

"Kamu yakin nggak mau ikut?" ini sudah ketiga kalinya Kak Gita memberi pertanyaan yang sama kepadaku, sejak dia datang setengah jam yang lalu.

"Enggak kak. Pergilah sana! Aku akan baik-baik saja di sini. Lagipula Rain masih terlalu kecil untuk diajak bepergian jauh. Dia belum genap 2 bulan," aku menjawab dengan alasan yang sama seperti saat menjawab pertanyaannya sebelumnya.

"Sayang sekali. Padahal kalau kamu ikut aku jadi ada teman ngobrol di sana," dia terlihat kecewa dan sedih.

Aku hanya nyengir tak tahu meski berkata apa.

Sore nanti Kak Gita akan berangkat ke luar kota untuk pergi liburan dengan suami dan keluarga suaminya. Sebenarnya aku juga butuh liburan, bayangkan saja jika dirimu berada dalam rumah selama berbulan-bulan, hanya keluar sekali-kali saat ada keperluan, lalu tiba-tiba ditawari liburan, harusnya tidak perlu berpikir dua kali untuk bilang iya. Iya kan??

Meski tiga hari yang lalu Kak Gita mengajakku jalan-jalan ke Mall, memanjakan diri di salon, cuci mata dan berbelanja, tapi tetap saja liburan yang sekarang berbeda dengan yang itu.

Tapi masalahnya.

Kak Gita -aku bukan bermaksud ingin menghakimi perbuatannya, namun aku hanya ingin menyampaikan alasan kenapa aku menolak ajakannya-, jadi dia menjadi istri simpanan bosnya di tempat kerja. Suaminya itu sudah memiliki istri dan anak. Jadi ketika Kak Gita bilang suaminya membawa keluarga besarnya, mustahil kan istri dan anaknya tidak ikut? Sudah pasti di sana nanti mereka akan bertemu. Meski pun Kak Gita bilang istrinya itu baik dan saat tahu status Kak Gita dia tidak bisa apa-apa karena takut diceraikan suaminya, namun tetap saja, aku tidak mau terjebak diantara hubungan tidak sehat mereka.

Aku termasuk golongan yang menolak keras segala macam bentuk perselingkuhan, apa pun alasannya. Aku dekat dengan Kak Gita karena kebaikannya padaku selama ini. Kami merasa sama-sama membutuhkan. Dia butuh teman, karena dia bilang tidak ada yang mau berteman dengannya, dan aku pun juga butuh teman karena aku hanya sendiri di kota ini.

Kak Gita adalah orang yang cuek. Orang-orang mengira dia menikahi bosnya yang lebih tua 18 tahun darinya karena ingin hartanya, karena kenyataannya setelah menikah, hidup Kak Gita bergelimang harta melimpah. Namun, aku tahu persis, bahwa Kak Gita cinta mati pada bosnya itu. Meski begitu, Kak Gita tidak pernah coba meluruskan pemikiran orang terhadapnya. Dia biarkan saja mereka berpikir bahwa anggapan mereka adalah benar. Kak Gita tidak berusaha menjelaskan yang sebenarnya pada orang lain. Dia biarkan saja orang mengambil dan membenarkan kesimpulan mereka sendiri.

"Jangan sampai omongan orang mengatur langkahmu, Ra. Tidak peduli sekeras apa ujaran mereka menentang jalan yang kau pilih, fokuslah pada pilihanmu. Ingatlah bahwa apa pun pilihanmu, itu menjadi tanggungjawab pribadimu. Orang lain hanya tahu mengatakan ini itu, tanpa mau disalahkan atas konsekuensi yang terjadi."

Itu yang Kak Gita katakan ketika aku bertanya mengapa dia tidak coba meluruskan omongan orang. Meski tidak serta merta mereka langsung percaya, tapi pasti ada satu dua yang akan mengerti. Iya kan?

"Ya sudahlah. Aku tidak mungkin bisa memaksamu yang keras kepala ini. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Aku harus membeli bikini seksi untuk suami tampanku di sana nanti. Pasti akan menyenangkan bercinta di atas kapal. Berasa mengulang bulan madu," Kak Gita mencium pipiku seperti kebiasaannya saat bertemu atau berpisah denganku.

"Kak... jangan kotori pikiranku, please!" entah sudah berapa kali dia merusak otak suciku dengan pemikiran kotornya.

"Ya ampun, Ra! Kamu bahkan sudah bisa membuat bayi setampan Rain, tapi kamu selalu bilang otakku kotor saat mengatakannya. Ku do'akan kamu merindukan masa-masa itu hingga terbawa mimpi," Kak Gita membalas ucapanku ketika hampir mencapai pintu depan.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang