.
.
.Aku sudah mandi pagi-pagi sekali. Saat menunggu Rain bangun, aku menata beberapa perlengkapan Rain untuk dibawa. Popok, baju ganti, skincare bayi, dan beberapa teman-temannya. Tepat setelah aku selesai merias wajahku dengan sederhana, Rain menggeliat bangun.
Aku langsung memandikannya dan menyiapkannya. Ini adalah hari pertama kami akan pergi bertiga. Aku, Rain dan ayahnya. Jadi, aku sangat antusias sekali. Apalagi, bayangan masakan lezat pria itu, membuatku ingin segera sampai di sana. Ya. Pria itu memang pintar masak. Sangat berbanding terbalik denganku yang tidak memiliki kemampuan memasak sama sekali.
"Mau ke mana, kok jam segini udah rapi?" Bunda bertanya begitu aku sampai di lantai satu.
"Dira mau main sama Kak Gita, Bun. Kebetulan sedang ikut suaminya yang ada pekerjaan di dekat sini selama beberapa hari. Juga Kak Gita sudah nyiapin sarapan buat Dira, jadi Dira nggak sarapan di rumah, ya!"
Aku benar-benar bangga pada mulutku yang semakin pintar berbohong. Kalimat yang sudah aku hafal sejak semalam, meluncur dengan sukses tanpa ragu sedikit pun. Ternyata, berbohong pun, jika sering di asah akan semakin mahir.
"Oh, ya! Kapan-kapan ajakin ke sini, ya! Bunda pengen ketemu. Pengen ngucapin makasih karena sudah banyak bantuin kamu saat jauh dari rumah." Memang saat membawa pulang Rain malam itu, sebelum aku dan Kak Gita ke pasar malam, Kak Gita tidak ikut masuk ke dalam rumah. Hanya turun dari mobil dan bertemu Kak Desi dan Ayah saja.
"Iya, Bunda. InsyaaAllah."
"Kok mendadak banget? Perasaan pas mau ketemu yang kemarin rencananya udah dari beberapa hari, kok ini mendadak langsung pergi?" Kak Desi yang baru datang langsung menatapku penuh intimidasi. Seakan tahu jika aku berbohong.
"Iya. Itu ... apa namanya ... Kak Gita juga ngabarinnya mendadak kok."
Kak Desi mengangkat alis. Masih tidak percaya denganku. Membuatku sedikit kesal. Kesal pada diriku sendiri, yang harus terus berbohong. Namun, jika aku mengatakan kebenarannya, mereka tidak akan membiarkan aku pergi.
"Bukan mau ketemu Kevin, kan?"
"Enggak, Kak. Aku udah tidak kontakan sama Kevin sejak lama kok."
"Ya sudah! Sana berangkat keburu siang!" Bunda membuatku lega. Aku menyalami keduanya lalu bergegas keluar.
Mobil hitam mengkilat sudah menunggu di sana. Sopirnya sama dengan yang dulu sering mengantar jemputku di masa lalu. Membuatku tersenyum kecut. Dulu, saat dijemput mobil ini, aku terpaksa sekali. Sehingga menangis sepanjang perjalanan pulang dan pergi. Sekarang, aku bahkan dengan sukarela naik mobil ini untuk bertemu dengan laki-laki yang sama.
"Lama tidak bertemu, Non Dira," laki-laki seumuran Kak Andri itu tersenyum melihatku dari spion depan. "Tuan Muda benar-benar mirip dengan Tuan. Sangat tampan," ucapannya merujuk pada Rain yang mirip ayahnya.
"Ehem. Iya. Langsung berangkat saja, ya!" Aku tidak mau mengobrol lebih jauh. Bukan apa-apa, tapi aku malu. Sangat malu. Malu karena dia yang paling tahu, betapa dulu Ayah Rain menghancurkanku. Dan sekarang, aku dengan tanpa ragu, menyerahkan diri untuk kembali terlibat pada hidup laki-laki itu.
Tahu jika aku tidak nyaman diajak ngobrol, akhirnya laki-laki itu diam dan fokus mengemudi. Setengah jam kemudian, kami sampai di apartemen mewah yang sudah beberapa kali aku datangi.
"Mau saya antar, Non?" tanyanya setelah memarkirkan mobil di basement
Aku menggeleng. Dulu, laki-laki ini yang mengantarku sampai depan pintu apartemen majikannya. Memastikan aku tidak kabur. Sekarang, aku tidak ingin diperlakukan seperti itu lagi. Aku bisa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...