Bagian 20

802 23 3
                                    

.
.
.

Aku memasuki koridor ruangan Kak Desi dirawat. Mengusap pelan perutku yang baru saja diisi penuh di kantin rumah sakit. Ini sudah malam, lewat dari jam makan malam. Namun, aku baru bisa meninggalkan Kak Desi setelah Kak Andri datang menggantikanku. Aku juga sempat menjenguk Bunda sebentar. Ayah yang menjaga Bunda. Kami bergantian, tapi aku yang paling banyak, karena aku pengangguran.

Koridor sudah sepi. Bahkan perawat pun tidak ada yang lalu lalang. Jam besuk pasien sudah habis, jadi hanya ada pasien dan yang menungguinya saja. Bulu kudukku sedikit merinding. Aku ini lumayan parnoan sebenarnya. Tadi, jika bukan karena sangat kelaparan, aku tidak akan pergi ke kantin.

Tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu ruangan Kak Desi. Terkejut mendapati Kak Desi duduk di brangkarnya, dengan Kak Andri yang memeluknya. Tidak hanya saling berpelukan, mereka juga menangis bersama. Apa yang terjadi? Aku urung bertanya, saat Kak Andri yang menghadapku, lewat matanya memberiku isyarat untuk diam.

"Aku malu, Kak. Aku harus bilang apa ke teman-teman? Mereka pasti akan ketawain aku. Dari awal mereka sudah bilang aku nggak mungkin nikah sama dia. Mereka bilang, aku jelek, nggak pantas buat dia. Kupikir semua itu tidak benar. Aku pikir omongan mereka tidak akan berpengaruh apa pun. Aku pikir, dia beneran suka sama aku. Tapi, nyatanya aku hanya dipermainkan begini. Aku malu, Kak. Aku mending mati aja."

Aku mematung di pintu yang sudah kututup perlahan. Mendengarkan ucapan Kakak perempuanku dengan hati teriris. Sakit sekali hatiku mendengar curahan hatinya. Telaga mataku mengembang. Siap meneteskan airnya.

"Dia bilang mau serius. Dia bilang nggak akan mainin aku. Aku tahu, sebenarnya dia juga belum cinta sama aku. Tapi, aku selalu yakin kalau dia akan mencintai aku pada akhirnya. Jika tiba-tiba begini, aku harus apa, Kak? Aku sudah tidak punya harga diri lagi sebagai wanita. Aku sudah hancur. Lebih baik aku mati saja. Kakak harusnya nggak hentiin aku!"

"Des, kalau laki-laki itu memang memilih pergi, bukankah kami, keluarga kamu, cukup untuk menjadi alasan kamu melanjutkan hidup? Kami ada di sini. Sama kamu! Kami akan selalu menerima dan menyayangi kamu. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kami adalah tempat kamu pulang. Jika kamu pergi, Bunda akan terluka. Ayah akan sedih. Kakak dan Dira juga akan kehilangan kamu. Kami semua sayang sama kamu," suara Kak Andri lirih menenangkan.

Kak Desi tidak menjawab. Hanya terus terisak dalam pelukan Kak Andri. Aku pun, akhirnya tidak bisa lagi membendung air mataku. Aku mendekat ke mereka dengan berderaian air mata. Ikut memeluk keduanya dan menangis bersama. Lama sekali kami saling bertangisan.

Pagi harinya, aku baru tahu dari Kak Andri kejadian semalam yang sebenarnya. Jadi, setelah aku pergi ke kantin, Kak Andri berniat ke kamar mandi sebentar. Meninggalkan Kak Desi yang sedang tidur sendiri. Saat Kak Andri kembali dari kamar mandi, Kak Desi merintis kesakitan dengan pergelangan tangannya yang tergores gunting dalam. Entah darimana Kak Desi mendapatkannya.

Kak Andri memanggil perawat dan beruntung bisa langsung memberikan pertolongan pertama. Setelah perawat pergi, barulah Kak Andri memeluk Kak Desi dan mereka bertangisan bersama. Jadi, yang aku lihat saat masuk adalah setelah kejadian itu.

Sebenarnya, semalam aku sudah penasaran melihat ada darah di selimut dan baju yang Kak Desi pakai. Aku ingin bertanya pada Kak Andri, tetapi begitu Kak Desi tidur, Kak Andri pamit ke ruangan Bunda. Hendak menceritakan yang barusan terjadi pada Ayah. Jadilah aku harus menunda penasaranku sampai pagi harinya.

Setelah malam itu, Kak Desi menjadi berbeda sama sekali. Sering marah, sering emosi tidak jelas, tidak bisa diajak bicara, hanya terus saja meracau tentang pertunangannya yang gagal. Ayah dan Kak Andri tidak bisa berbuat banyak. Bahkan, dokter beberapa kali harus memberi Kak Desi obat bius karena mengamuk dan mencoba melukai baik dirinya mau pun orang lain.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang