Bagian 18

659 25 3
                                    

.
.
.

Aku baru pulang dari apartemen Ayah Rain saat malam menjelang. Seperti biasa, aku diantar oleh orang suruhannya. Orang kepercayaan laki-laki itu, yang biasa mengantar jemputku. Aku semakin merasa tidak bersalah setiap berbohong pada keluargaku. Hal yang awalnya membuatku risau, kini terbiasa. Aku tak lagi berat untuk datang menemui pacarku.

"Baru pulang?" Kak Andri mencegatku yang baru mau naik tangga ke lantai 2.

"Iya." Aku tersenyum. Menyerahkan Rain padanya, lalu bergelanyut manja di lengannya sembari meniti anak tangga.

"Rain, Om kangen banget, lho! Sekarang jarang ketemu, ya! Diajakin Buna pergi ke mana aja? Seneng ya diajak jalan-jalan?"

"Kakak aja yang sibuk kerja." Kakakku ini, selain menjadi prajurit negara, memiliki usaha lain bersama temannya. Jadi, waktunya sangat sibuk sekali.

"Hm ... teman kamu nggak pengen gantian main ke sini? Kakak juga pengen ketemu. Pengen kenalan dan ngucapin makasih udah jadi temen Dira."

"Hm? Ah, kapan-kapan aku ajakin ke sini, Kak. Kapan, ya? Nanti deh, aku bicarakan dulu sama Kak Gitanya. Soalnya, Kak Gita itu sedang suka jalan-jalan, jadi kita bisa seharian keliling kota," aku mengatakan kebohongan lagi. Lancar sekali, keluar begitu saja. Padahal aku sempat kaget sebentar dengan pertanyaan kakak sulungku itu.

"Ya. Katakan kalau Ayah sama Bunda, juga ingin bertemu. Mereka pasti senang sekali jika bertemu dengan teman kamu. Apalagi mendengar cerita kamu tentang dia, kami semakin penasaran. Kami berhutang banyak sama dia."

Aku mengangguk. Kami sudah sampai di kamar. Aku melepas sepatu dan kaos kaki, lalu meletakkan tas dan membuka gendongan Rain yang masih melekat padaku. Berencana untuk mandi, mumpung ada kakakku yang akan menjaga Rain.

"Dira mandi dulu, ya Kak! Minta tolong Rain!"

"Ya. Kakak akan menjaga bayi montok ini!"

Aku mandi sedikit lebih lama. Seharian tadi, kami pergi jalan-jalan di kota lain. Mendatangi danau yang selama ini sangat ingin aku kunjungi. Karena perjalanan memakan waktu hampir 3 jam, kami terlambat pulang. Aku tidak sempat mampir ke apartemennya untuk mandi. Jadi, aku memutuskan untuk langsung pulang dan mandi di rumah. Kami berpisah di jalan yang sedikit jauh dari tempatku tinggal. Lebih tepatnya, aku berpindah mobil. Aku masih keberatan jika diantar sampai rumah olehnya.

"Rewel nggak?" Aku masuk ke kamar dengan tubuh terbalut handuk sebatas dada sampai lutut. Kakakku duduk di pinggir ranjang, sedang putraku terbaring tidur di sebelahnya. Rupanya bocah itu tertidur. Sepertinya kelelahan.

"Ganti baju dulu, Kakak tunggu di balkon!"

Aku sedikit bingung. Kakakku seperti sedang marah. Apa yang terjadi? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya tidak suka? Apa dia tahu tentang ayah Rain? Ya ampun, pikiran buruk berkecamuk di benakku. Aku mempercepat acara ganti bajuku, lalu menghampirinya yang sudah menunggu di balkon. Kebetulan Kak Desi, Ayah dan Bunda sedang tidak di rumah. Jadi hanya ada kami berdua.

"Duduk!" Menunjuk kursi sebelahnya dengan dagu. Aura kakakku ini dingin sekali. Aku diam-diam takut. Apa Kak Andri tahu rahasiaku?

"Ada apa, Kak?" aku bertanya akhirnya, karena selama beberapa saat, laki-laki yang selalu menyayangiku itu hanya diam saja.

"Darimana tadi?"

"Jalan-jalan sama Kak Gita."

"Berdua?"

"Enggak. Bertiga sama Rain."

"Kamu, Rain dan Gita?"

"Iya."

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang